Untuk mempersiapkan hype Aquaman dan Shazam dan pastinya Wonder Woman 2, gw memutuskan untuk nulis tentang Wonder Woman. Kayaknya ga perlu diragukan lagi, Wonder Woman telah sukses menjadi ikon kultural tahun 2017. Karena kesuksesannya tersebut, sutradara Patty Jenkins memutuskan untuk membuat sekuelnya yaitu Wonder Woman 1984 yang akan tayang ntar tahun 2019.
Menurut gw sendiri, Wonder Woman pantes mendapatkan kesuksesan karena film ini merupakan sebuah revolusi. Selain punya theme song super kece (coba sebutin theme song superhero lain yang se-memorable Wonder Woman) ciptaan Hans Zimmer dan Junkie XL, diperankan oleh Gal Gadot (aktris peringkat empat dengan bayaran paling mahal di Holywood saat ini), film ini juga berhasil mengangkat image superhero wanita yang dimana genre superhero didominasi oleh laki-laki. Akhirnya selama bertahun-tahun kita bisa punya image seorang pahlawan wanita yang sangat memorable.
Selain itu, film ini merupakan angin segar bagi DC Extended Universe. Ya kita tahu sendiri lah ya gimana nasib yang menimpa film DCEU yang lain dengan rating dan review, kayaknya ga perlu gw deh ya, bikin sakit hati hikz..hikzz. Namun, Wonder Woman berhasil menuai ulasan yang lebih banyak positif dibanding negatif. Bahkan situs rotten tomato saja sampai memberikan rating film ini 92% tomatometer dengan 88% audience score. Padahal kalo temen-temen tahu, rotten tomato tuh pelit banget kalo ngasih rating. Ini adalah film DCEU pertama yang bisa dapet rating setinggi itu di rotten tomato. Kesimpulan yang bisa gw ambil disini adalah Gal Gadot dan Patty Jenkins adalah superhero yang sebenarnya. Film mengenai strong independent woman yang disutradari oleh strong independent woman hanya akan menghasilkan masterpiece. Dan temen-temen jangan heran kalo film ini juga penuh dengan pesan feminisme yang akan gw bahasa dalam tulisan ini.
Walaupun bisa dibilang sukses, film ini tidak luput akan kritik. salah satu kritik film ini adalah dari sisi villainnya. Orang-orang menganggap bahwa Ares adalah villain yang kurang menarik, standard dan cliche. Menurut gw pandangan tersebut tidaklah tepat. Jika diamati dengan seksama, konflik Ares dengan Diana sangatlah menarik dan justru jauh dari cliche. Jika dibandingkan dengan villain-villain lain yang motivasinya kebanyakan untuk menguasai dunia, menguasai alam semesta, dll, konflik Ares dan Diana sangatlah filosofis. Seperti apa? Let's dive right in.
Tidak seperti villain-villain lain, Ares tidak secara membabi buta benci terhadap Diana, no! Justru Ares ingin mengajak Diana untuk bisa melihat kondisi dunia yang sebenarnya. Konflik Ares dengan Diana terletak pada pandangan mereka mengenai sifat manusia (human nature) dan konsep keadilan (nature of justice). Diana percaya bahwa manusia pada dasarnya (esensinya) baik dan hanya menjadi jahat karena pengaruh Ares
sedangkan Ares percaya bahwa manusia pada dasarnya bajingan.
Bisa dibilang kalo ini adalah pertarungan essentialism. Essentialism adalah pandangan filsafat yang mengatakan bahwa setiap benda yang ada di dunia ini punya properti inheren atau essence didalamnya yang berfungsi sebagai identitas benda tersebut dan membedakannya dengan benda lain.
Pandangan Ares terhadap manusia cocok dilihat dari kacamata Sigmund Freud, bapak psikoanalisa dari Swiss, Dalam bukunya yang berjudul Civilisation and its Discontents, Freud menulis :
“The bit of truth behind all this – one so eagerly denied – is that men are not gentle, friendly creatures wishing for love, who simply defend themselves if they are attacked, but that a powerful measure for aggression has to be reckoned as part of their instinctual endowment. The result is that their neighbour is to them not only a possible helper or sexual object, but also a temptation to them to gratify their aggressiveness on him, to exploit his capacity for work without recompense, to use him sexually without his consent, to seize his possessions, to humiliate him, to cause him to pain, to torture and kill him. Homo Homini Lupus…”
Menurut Freud, manusia pada dasarnya cuma punya dua insting yaitu :
1. Life Instinct/ insting seks (Eros). Dalam teori Freudian, insting ini kerjaannya mencari kenikmatan biologis dan memiliki peran untuk mendorong manusia bertahan hidup. Kenikmatan biologis yang dimaksud pada intinya adalah seks. Tapi tidak terbatas pada kenikmatan organ seksual saja. Menurut Freud, seluruh tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyediakan kenikmatan seksual yang ia sebut sebagai erotogenic zone. Jadi, kenikmatan yang didapat dari makan dan minum misalnya, pada dasarnya adalah kenikmatan seksual karena mulut merupakan salah satu erotogenic zone. Menurut Freud, dorongan bertahan hidup manusia didasari oleh cinta pada diri sendiri (narcissism). Oleh karena itu, dorongan perilaku manusia pada dasarnya adalah untuk kenikmatan diri sendiri.
2. Death instinct/ insting agresi (Thanatos). Menurut Freud, semua organisme yang ada di dunia ini (termasuk manusia) punya keinginan (desire) untuk kembali ke bentuk inorganic (inorganic state), ke keadaan dimana manusia tidak lagi harus memuaskan hawa nafsu alias manusia memiliki keinginan untuk mengakhiri eksistensi (mati). Namun, karena death instinct harus berintegrasi dengan life instinct, maka ekspresinya berubah menjadi keinginan untuk menghancurkan orang lain. Gosip, sarkasme, becandaan ngejek, bullying adalah contoh ekpresi death instinct dalam level rendah. Pada level ekstrim contohnya adalah tindakan terorisme seperti yang sedang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Seperti kata Freud : Manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).
Freud dan Ares juga sama-sama penganut psychic determinism, yaitu pandangan filsafat yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas yang artinya manusia tidak memiliki kontrol terhadap perilakunya. Segala perilaku manusia sudah ditentukan oleh dorongan insting hewani yang udah dari sononya. Karena insting inheren yang ada di dalam diri manusia adalah jahat maka Ares percaya bahwa manusia terkutuk untuk jadi makhluk bajingan seumur hidup.
Hal ini membawa kita kepada scene dimana Diana mengatakan :
Ini line yang chessy at best dan membingungkan at worst. Gw yakin banyak diantara temen-temen yang udah nonton pasti juga bingung atau mungkin mengira line ini ditujukan untuk Steve Trevor. Tapi gw akan mencoba nge-break down makna dibalik line tersebut. Pertama-tama kita harus melihat konteks dibalik line tersebut. Kata-kata tersebut diucapkan Diana sebagai respon terhadap klaim Ares terhadap manusia. Apa saja klaim tersebut? Karena seperti yang udah dibahas bahwa Ares percaya kalo manusia itu pada dasarnya berengsek, maka :
1) Manusia pantas untuk dihukum/dihancurkan.
2) Manusia tidak pantas memperoleh keselamatan.
Mari kita bahas poinya satu per satu. Gw akan bahas mulai dari poin pertama yaitu manusia pantas untuk dihancurkan. Klaim ini mengacu pada konsep yang disebut sebagai retributive justice. Dalam buku Metaphysics of Morals, Immanuel Kant berkata bahwa :
“Judicial punishment can never be used merely as a means to promote some other good for the criminal himself or for civil society, but instead it must in all cases be imposed on him only on the ground that he has committed a crime”
Retributive justice secara sederhana adalah pandangan bahwa respon terbaik dari suatu tindak kejahatan adalah hukuman yang proporsional/setimpal dengan kejahatan tersebut. Kurang lebih mata ganti mata, gigi ganti gigi. Kalo lu berbuat jahat maka lu pantes (bahkan harus) dijahatin balik. Pandangan ini merupakan respon Ares dari apa yang ia saksikan dilakukan oleh umat manusia sepanjang sejarah. Ares melihat bahwa manusia kerjaanya ga pernah lebih dari saling menghancurkan, saling memanfaatkan satu sama lain demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu Ares dibalik layar mendalangi perang dunia pertama. Biar manusia saling menghancurkan satu sama lain. Karena menurut Ares karena manusia udah sebegitu busuknya, manusia tidak pantas untuk hidup.
Nak, dunia tidak pantas mendapatkan film sebagus ini |
Sekarang kita pindahkan kamera ke Diana. Diana memiliki pandangan yang berbeda dengan Ares, namun uniknya pandangan Diana mengalami evolusi disepanjang film. Disaat yang lain menjustifikasi tindakan mereka melalui kacamata retributive dan distributive justice, Diana mengambil jalur berbeda. Pada awal film, keinginan Diana untuk menolong manusia didasarkan oleh kesadaran bahwa dirinya mengemban suatu tugas (duty/deon). Pandangan ini disebut sebagai deontologi. Deontologi adalah teori moral yang mengatakan bahwa moralitas suatu tindakan haruslah didasarkan pada benar atau salahnya tindakan tersebut sesuai dengan aturan yang disepakati. Teori ini tidak menjadikan konsekuensi sebagai tolak ukur benar atau salahnya suatu tindakan. Jadi kita memiliki tugas (duty) untuk melakukan tindakan yang benar dan tidak melakukan yang salah tidak peduli konsekuensinya. Menurut Immanuel Kant, untuk menentukan apakah suatu tindakan dapat disebut moral, tindakan tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ia sebut sebagai categorical imperative yaitu :
1. Tindakan harus bisa dijadikan hukum yang universal (maxim). Misalnya lu mau selingkuh. Untuk menentukan kalo selingkuh itu bener ato salah lu harus nanya balik ke diri sendiri “gw mau ga diselingkuhin?” kalo ga mau berarti tindakah selingkuh tidak universal, maka selingkuh bukanlah tindakan yang benar/moral.
2. Tindakan harus menjadikan manusia sebagai tujuan bukan sebagai cara (mankind as an end not means). Kalo lu pacaran sama orang cuma buat ngedapetin hartanya maka itu bukan tindakan yang benar karena lu memperlakukan manusia lain sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu.
3. Bertindaklah seakan-akan lu tuh seorang pemimpin suatu negara dan tindakan-tindakan lu kalo dijadikan hukum bisa menciptakan keharmonisan.
Pandangan deontologi sebenarnya tidak unik milik Diana. Hampir semua superhero yang pernah ada memegang beberapa versi deontologi sebagai kompas moral mereka. Contoh yang paling klasik adalah Superman dengan slogan “The Truth, Justice and the American Way dan Batman dengan ‘no killing code’nya. Versi deontologi yang dipegang Diana di film ini bernama divine command theory. Divine command theory mengatakan bahwa tindakan yang benar atau salah adalah apa yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa (Divine), sehingga manusia memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan hal tersebut. Misalnya kalo YMK udah menentukan kalo nyimeng adalah salah ya berarti nyimeng itu salah apapun kondisinya. Hal ini bisa dilihat dari persistensi Diana diawal film untuk menyelamatkan manusia karena hal itu adalah tugas yang diberikan para dewa kepada kaum Amazon.
Bukan amazon ini ya maksudnya! |
Kita melihat disepanjang film Diana memegang teguh pandangan tersebut. Namun semua berubah ketika ia berhasil membunuh Ludendorff. Manusia tetap tidak berhenti perang walaupun ia telah mati. Pada akhirnya Diana mulai merefleksikan kata-kata emak nya. Mungkin manusia emang udah saking busuknya ga pantes diselamatkan. Jadi disini kita lihat bahwa berbeda dengan Ares, Diana mulai melepaskan semua nilai-nilai yang ia pegang. Diana mengalami crisis of conscience. Bagaimana caranya Diana keluar dari krisis tersebut? Kita balik lagi ke cheesy line :
Sekilas terlihat kalo Diana percaya akan cintanya Steve Trevor. Tapi please lah lu percaya cliche kayak gitu bisa ada difilm epic kayak gini? haha. Engga coy, maksud dari kata-kata cheesy ini baru menjadi jelas di akhir film. Diakhir perjalanan Diana, kita melihat ada satu hal yang membedakan Diana dengan superhero lain. Superhero lain kayak Superman, Batman atau Captain America memiliki sense of duty, yaitu bahwa membela yang lemah merupakan suatu tugas yang wajib dijalankan. Tapi tidak untuk Diana. Diana menyadari bahwa menyelamatkan dunia bukanlah tugasnya. Ia tidak memiliki kewajiban untuk menyelamatkan siapapun karena tidak ada satu manusia pun yang pantas diselamatkan. Diana mulai menyadari bahwa manusia itu sangat complex, sangat rumit. Dengan segala kebaikan mereka, manusia tetap memiliki potensi kejahatan di dalam hati mereka. Apakah hal tersebut membuat Diana menyerah atas manusia? Nope! Diana tetap memilih untuk menyelamatkan bukan karena manusia pantas diselamatkan tetapi karena ia mau, karena ia cinta sama manusia. She loves the shit out of people. Jadi kata kuncinya disini adalah cinta.
Nah inilah yang membuat Diana menjadi superhero yang menarik serta berbeda dengan superhero lain. Kalo superhero lain menempatkan sense of moralitynya pada deontologi atau utilitarianisme, Diana memilih jalur moral yang berbeda yang belum pernah ditampilkan oleh superhero lain yang bernama care ethics. Care ethics adalah salah satu teori moralitas yang saat ini mulai mendapat spotlight. Berbeda dengan teori moralitas lain, care ethics tidak berbicara mengenai keadilan dalam arti yang sempit, melainkan lebih mengenai kepedulian. Bukan tentang apa yang pantas didapatkan seseorang melainkan bagaimana harus merespon orang yang membutuhkan bantuan sekalipun orang itu jahat. Kayak orangtua yang sayang sama anaknya sekalipun anaknya macem Ahmad Dhani. Care ethics adalah teori moralitas yang didasarkan oleh cinta.
Ide mengenai Care ethics bisa ditelusuri jejaknya dari psikolog Amerika, Carol Gilligan. Dalam bukunya In a Different Voice, Gilligan menginvestigasi perkembangan moralitas perempuan. Selama ini teori-teori psikologi perkembangan maupun kepribadian mengatakan bahwa konsep moralitas perempuan lebih inferior dari laki-laki. Namun Gilligan menemukan bahwa, wanita memiliki "suara" yang berbeda tentang moralitas. Karena perempuan suatu saat akan memiliki anak, maka perempuan dari sononya punya inner instinct untuk care atau peduli. Kadang perempuan terlihat kurang konsisten mengenai pemecahan masalah saat ada dilema, tapi menurut Gilligan itu karena perempuan punya kecenderungan untuk mengutamakan hubungan /relationship dengan orang lain. Perempuan selalu mencari cara untuk menyelesaikan dilema tanpa harus menyakiti perasaan orang lain atau membuat hubungan dengan orang lain menjadi rusak. Hal ini udah terlihat dari masa kanak-kanak pada diri perempuan. Coba temen-temen check this video out :
Perempuan punya insting dasar untuk peduli/care dan mencintai sesamanya. Intinya sih begitu tapi kalo temen-temen mendapat insight lebih lengkap silahkan baca bukunya karena ini buku bagus banget sih, sangat insightful.
Care ethics bukanlah teori moralitas yang memiliki aturan strict kayak categorical imperativenya deontologi, namun ada nilai-nilai umum yang dipegang dalam teori ini seperti :
- Attentiveness. Dimana kita harus peka terhadap kebutuhan orang lain
- Responsibility. Dalam bahasa inggris kata kewajiban ada dua yaitu responsibility dan obligation. Namun dalam care ethics, responsibility beda dengan obligation.Menurut Joan Tronto, obligation merujuk pada kewajiban secara hukum, sedangkan responsibility lebih ambigu ,artinya kewajiban menolong seseorang itu berdasarkan kemampuan si penolong. Orang lebih punya kemampuan, lebih memiliki kewajiban untuk menolong orang.
- Competency. Seperti poin diatas, untuk menolong orang lain si penolong harus kompeten atau memiliki kemampuan untuk menolong. Kalo engga ntar bukannya nolong malah nambanh susah.
- Responsiveness. Untuk menolong seseorang, kita harus melihat bagaimana orang merespon pertolongan kita. Tujuannya supaya kita tahu sejauh mana orang itu butuh bantuan.
Diana : "Minggir bos, berat nih tank" |
Jadi bagaimana menurut temen-temen? apakah manusia terkutuk jadi makhluk bajingan selamanya dan tidak pantas diselamatkan? atau maukah kita meniru Diana dan tetap mencintai sesama manusia walaupun mereka mungkin sangat ga pantas untuk dicintai? Atau lebih penting lagi, apakah bisa kita kayak Diana? perlu diingat, Diana itu bukan manusia tapi dia demi-god. Dia memiliki posisi diatas manusia. Sedangkan manusia akan selalu memiliki kekurangan. Kita akan selalu memiliki instinct untuk egois dan memikirkan diri sendiri. Bisakah kita mengatasi sifat kebinatangan kita (transcend) atau apakah kita akan selamanya terkutuk untuk saling menghabisi satu sama lain? Silahkan tulis pendapat temen-temen di kolom komentar dan selamat pusing.
No comments:
Post a Comment