Akhirnya
setelah tiga tahun berlalu, kesampean juga nulis tentang nih film. Menurut gw,
filmnya cukup bagus sih, cuma pas nonton pertama kali sebenarnya ga terlalu
spesial buat gua, ya standard film Disney/Pixar lah. Tapi setelah gw nonton
ulang serta melihat beberapa pembahasan di internet, gw jadi tersadar bahwa
makna tersembunyi dari film ini super relevan sama keadaan society kita
jaman sekarang, baik di Indonesia maupun dunia. Pertanyaan besar yang ingin gw
bahas di dalam tulisan ini adalah : Apakah Joy itu beneran tokoh baik (the
good guy) difilm ini? Fair warning, tulisan gw tentang film ini
mungkin akan cukup panjang jadi please bear with me and read it carefully ya
dan sebelumnya spoilers ahead.
Inside Out
merupakan film animasi 3D yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios dan
dipublikasikan oleh Walt Disney Pictures. Resepsi yang diterima film ini cukup
bagus. Situs Rotten Tomato memberi film ini rating 98% berdasarkan 331 review
dan rating rata-rata 8.9/10. Kritik memuji film ini sebagai "film animasi
yang unik, memiliki visual yang indah serta sangat menyentuh. Film ini adalah
tambahan baru untuk sederetan film animasi klasik modern milik Pixar yang luar
biasa". Well not so bad eh?
Apa sih
yang membuat film ini dapat diterima masyarakat dengan baik? Selain visual
animasi yang bagus serta cerita yang menyentuh film ini juga memiliki konsep
yang unik. Film animasi ini berusaha untuk membahas emosi manusia dengan
mempersonifikasian lima emosi dasar manusia yaitu perasaan senang, sedih,
takut, jijik dan marah (joy, sad, fear, disgust dan anger) dalam
bentuk animasi yang cute dan unyu-unyu. Seakan-akan ada orang-orang
kecil yang hidup di kepala manusia. You know lah standar Disney/Pixar.
Pemilihan warna dalam merepresentasikan emosi pun cukup akurat. Seperti warna
merah yang selalu diasosiasikan dengan passion dan rasa marah dan biru
diasosiasikan dengan perasaan sedih, kalem, melow.
Konsep
emosi yang disuguhkan dalam film tersebut memiliki landasan pada science
di dunia nyata. Maksudnya bukan adanya makhluk-makhluk kecil yang mengendalikan
emosi di dalam kepala kita ya. Pertama, lima emosi yang menjadi karakter film
ini merupakan emosi dasar yang ditemukan pada manusia di seluruh dunia. Paul
Ekman (Prinz, 2004) menggagas bahwa terdapat enam emosi dasar manusia (The
Big Six emotions model) yaitu senang, sedih, takut, jijik, marah dan
terkejut (surprise). Jadi sebenarnya ada enam emosi dasar manusia tapi
entah kenapa di film ini cuma ada lima, coba entar gw tanya sama bosnya Pixar.
Kemudian
ide mengenai hubungan antara emosi dan rasio (logika). Beberapa tahun yang
lalu, para peneliti percaya bahwa emosi menganggu atau merusak proses berpikir
logis dan pengambilan keputusan (Jones dalam Stratton, 2012). Namun akhir-akhir
ini peneliti pro-emosi menemukan bahwa ternyata emosi justru memiliki peran
penting dalam mengorganisir logika dan pengambilan keputusan. Salah satu fungsi
emosi dalam kemampuan berpikir rasional adalah emosi membantu mengatur hal apa
yang menjadi prioritas. Contohnya menurut Solomon (dalam Lerner et al, 2014),
emosi marah adalah respon atas ketidakadilan. Loomes & Sugden (1982)
antisipasi penyesalan dapat memberi alasan untuk menghindari pengambilan resiko
yang berlebihan. Dalam film ini misalnya, kita bisa melihat Riley mengungkapkan
rasa marah saat ia merasa ayahnya tidak adil dan rasa takut melindungi dirinya
dari ancaman kematian. Seperti kata Robert Levenson (dalam Stratton, 2012)
emosi merupakan alat yang efisien untuk beradaptasi dan bertahan hidup pada
lingkungan yang terus berubah.
Tanpa rasa takut, filmnya bakalan berakhir tepat dimenit 3:11 |
HULK SMASH! |
Selain
itu, film ini juga dengan baik mendemostrasikan bagaimana memori bekerja. Dulu
peneliti mengira bahwa memori itu kayak perpustakaan besar dimana kita
menyimpan semua ingatan dan bisa sewaktu-waktu dimunculkan kembali. Tapi berkat
majunya ilmu pengetahuan sekarang kita tahu bahwa ada yang namanya memori
jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long
term memory). Ingatan yang tidak terlalu lama kita butuhkan akan tersimpan
di memori jangka pendek. Ingatan dalam short term memory akan hilang
jika sudah tidak lagi penting. Ingatan yang penting atau bahkan memiliki makna
emosi tersendiri akan tersimpan di memori jangka panjang. Seperti dalam film,
ingatan yang sudah tidak diperlukan oleh Riley akan dibuang ke memory dump.
Seems they've done their homework really well huh?
Nih pasti karyawan hotel Santika ICE |
Awesome
science aside,
gw mau menunjukkan bahwa mungkin selama ini kita memiliki pandangan yang salah
tentang film ini. Sekarang gw mau tanya, dalam film ini siapa heronya?
Gw yakin kita semua menganggap Joy lah pahlawan dalam film ini. Kalo gitu siapa
bad guynya? Mungkin kita berpikir sadness , keluarga Riley yang
disfungsional atau juga "hmm kayaknya ga ada deh tokoh jahanya".
Gimana kalo gw bilang kalo lu semua salah? Dalam tulisan ini, gw mau berargumen
bahwa Joy adalah tokoh jahat (the bad guy) dari film ini. Yup you
heard me right!
Kalau
disimak secara sekilas, film ini bercerita tentang Riley, gadis remaja berumur
sebelas tahun yang harus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari
pekerjaan ayahnya yang mengharuskan sekeluarga harus pindah rumah, Riley harus
berpisah dengan teman-temannya dan beradaptasi dengan sekolah baru yang tidak
ia kenal. Dalam film ini kita melihat bagaimana lima emosi tersebut berusaha untuk
tetap membuat Riley bahagia, terutama Joy. Namun semua berubah ketika negara
api menyerang. Eh sori salah franchise. Maksudnya, semua berubah saat Sadness
secara impulsif menyentuh bola memori utama (core memories) dan membuat
Riley menjadi sedih. Joy yang berusaha untuk merubah core memory menjadi
bahagia terlempar dari headquarter bersama Sadness dan beberapa core
memories yang lain. Singkat cerita, Riley kemudian memutuskan untuk kabur
dari rumahnya di San Fransico dan pergi menuju rumah lamanya di Minessota.
Kayaknya itu di daerah Tangerang Selatan. Joy memutuskan akan melakukan apapun
untuk menjaga Riley tetap bahagia. Tapi pada akhir film, Sadness lah yang
berhasil membuat Riley menyesali perbuatannya dan memutuskan untuk kembali ke
orang tuanya. Joy mendapat pelajaran berharga bahwa terkadang kita harus
membiarkan kesedihan muncul.
Kita bisa
melihat film ini dari sudut pandang lain. Dalam film ini, kita bisa melihat
bagaimana Joy bertindak layaknya seorang diktator. Dari awal film temen-temen
bisa lihat bagaimana Joy bertindak seperti seorang bos egomaniak yang
ngatur-ngatur emosi lain melakukan ini itu untuk satu tujuan yaitu supaya
kebahagiaan selalu duduk di kursi paling depan dalam pikiran Riley. Buat Joy
emosi bahagia adalah emosi yang terpenting dari emosi yang lain. Emosi yang
lain hanyalah alat yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan. Kalau ada emosi
yang menurutnya tidak berkontribusi untuk kebahagiaan atau bahkan mengancam
kebahagiaan, maka Joy tidak akan segan-segan mengeliminasi emosi tersebut,
emosi seperti rasa sedih (sadness) misalnya. Bisa dilihat dalam film
bagaimana Joy melakukan segala cara untuk membuat sadness tidak menyentuh core
memories. Pada intinya, Joy akan melakukan segala cara untuk membuat Riley
terus bahagia.
Kalo dilihat
dari sudut pandang tersebut, maka film ini sebenarnya bercerita tentang
bagaimana Joy yang dengan segala usahanya untuk mempertahankan agar Riley tetap
merasa bahagia malah hampir membuat Riley menjadi manusia yang tidak bisa
berfungsi dengan baik. Bisa dilihat dari petualangan Joy dan Sadness dalam
mengembalikan core memories. Gara-gara Joy ngelarang Sadness untuk
menyentuh satu core memory, akhirnya Joy dan sadness harus terlempar
keluar dari headquarter mereka, meninggalkan tiga emosi lain yang harus
pegang kendali. Hasilnya, emosi dan mood Riley sepanjang hari malah jadi
berantakan. Riley jadi lebih agresif terhadap orangtuanya, kesulitan untuk
berinteraksi dengan teman-temannya bahkan hampir kabur dari rumahnya. Segala
usaha Joy untuk selalu berpikir dan bersikap positif malah membuat perjalanan
pulang mereka tambah susah. Joy bahkan berhasil membunuh teman khayalan Riley,
Bing Bong, walau tidak disengaja. Man what a bitch!
Jika
dilihat dari sudut pandang ini, film inside out sebenarnya merupakan kritik
terhadap budaya kebahagiaan wajib (compulsory happiness) pada masyarakat
abad ke-20. Jaman sekarang kayaknya tidak merasa bahagia bukanlah pilihan. Ide
untuk mengejar kebahagiaan gencar ditanamkan kedalam pikiran kita. Mulai dari
konselor sekolah, HRD, psikolog, psikiater sampe motivator tv dengan golden
waysnya mencekoki ide bahwa kita harus mengejar kebahagiaan. Selalu tampil
dengan sikap yang positif, untuk terus keliatan senang, bahagia, senyum lebar,
dll. Dalam bukunya yang berjudul The Happiness Industry, seorang
sosiolog politik asal Inggris William Davies mengatakan bahwa :
“…happiness
science is ‘critique turned inwards’….The relentless fascination with
quantities of subjective feeling can only possibly divert critical attention
away from broader political and economic problems”
Yang ingin
disampaikan oleh Davies adalah bahwa society kita sudah diprogram untuk
percaya bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi. Bahwa kebahagiaan ada
di dalam pikiran. Hal ini ditunjukkan dengan baik di film Inside Out dimana
konflik yang dialami Riley terjadi di dalam pikirannya. Terdapat satu scene
dalam film dimana ibu Riley meminta Riley agar tetap tersenyum ditengah-tengah
kesulitan yang mereka hadapi. Pesan yang disampaikan oleh scene ini
adalah : kita semua menderita tapi at least pasang topeng bahagia.
"Kid, when life fucks you in the ass, just keep smiling" |
Sisi gelap
dari hal ini adalah adanya celah untuk menyalahkan individu jika ia tidak
bahagia. Kalo elu ga bahagia berarti lu kurang bertanggung jawab sama diri lu.
Padahal sumber ketidakbahagiaan tidak sesederhana itu. Yang kita sering lupa
adalah seringkali lingkungan tidak mengijinkan kita untuk bahagia. Man gimana
caranya mau bahagia kalo besok aja ga tau makan makan apa? jadi kaya? gimana
caranya jadi orang kaya kalo lu digaji ga seberapa? kalo means of production
dikontrol sama segilintir orang? gimana caranya lu bisa terus senyum ditempat
kerja kalo rekan kerja lu berengsek semua? kalo general manager pelit setengah
mati ga memperhatikan kesejahteraan karyawan? kalo tamu yang lu layanin bangsat
kayak tai? Terdapat beberapa studi mengenai bagaimana depresi dan
ketidakbahagiaan banyak ditemukan di daerah-daerah yang kesenjangan sosialnya
tinggi serta daerah yang sangat materialis dan kompetitif. Itulah yang Davies
sebut sebagai ‘critique turned inwards’. Bukannya mengkritik sistem yang
menjadikan kita sengsara, society memaksa kita untuk membelokkan kritik
tersebut ke dalam diri kita. Membuat kita ga sadar sama ketidakadilan yang
terjadi di masyarakat.
Dalam
bukunya tersebut, Davies menjelaskan bahwa budaya kebahagiaan merupakan elemen
yang sangat penting untuk menjalankan roda neoliberal kapitalisme. Sebenernya
definisi neoliberalisme sendiri masih banyak perdebatan tapi pada dasarnya
neoliberalisme adalah sistem ekonomi dimana adanya pemberian kebebasan terhadap
korporasi untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah.
Dalam hal ini, korporasi yang memiliki hak untuk meregulasi kebijakan dan
aturan pasar bebas. Sistem ekonomi ini ditandai dengan adanya kompetisi. Ini
sistem agak lumayan jahat kalo dipikir-pikir. Menurut artikel yang ditulis oleh
Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia di Corpwatch.org, terdapat lima poin
utama yang membentuk sistem neoliberalisme yaitu :
- The Rule of the Market. Menghilangkan (atau at
least mengurangi) aturan pemerintah yang mengekang korporasi tidak
peduli seberapa banyak kehancuran yang dihasilkan. Membuka peluang
perdagangan dan investasi internasional secara lebih luas, e.g NAFTA.
Pengurangan gaji dan hak-hak karyawan. Menghilangkan kontrol harga
- Cutting Public Expenditure For Social
Services.
Memotong biaya untuk fasilitas umum seperti perbaikan jalan, trotoar, dll.
Katanya sih semua ini dilakukan untuk menghilangkan peran pemerintah dalam
urusan ekonomi. Tapi mereka tidak menolak kebijakan pemerintah yang
menguntungkan korporasi
- Deregulation. Mengurangi aturan pemerintah
yang bisa mengurangi profit
- Privatization. Pengalihan goods and services
seperti bank, jalan raya, sekolah, listrik bahkan air yang dimiliki
pemerintah ke sektor privat. Semua dengan alasan efisiensi. Tapi pada
kenyataannya malah terjadi adalah pemusatan kekayaan pada segelintir
orang.
- Eliminating the Concept of
Public Good and Services.
Menghilangkan konsep pelayanan dan komunitas sosial dan menggantinya
dengan konsep “kalo mau berobat, kalo mau sekolah, kalo mau aman cari
solusi sendiri! kalo gagal berarti lu males!”.
Kebahagiaan
saat ini tidak lebih dari sekedar alat yang digunakan oleh para babi kapitalis
untuk mengontrol masyarakat agar terus mengonsumsi produk dan mengeksploitasi kaum
pekerja agar loyal dan rajin bekerja untuk menghasilkan keuntungan bagi
perusahaan. Banyak orang tidak sadari bahkan konsep kebahagiaan yang mereka
rasakan saat ini adalah hasil pemrograman pikiran lewat film, iklan, dll yang
diendorse oleh korporasi untuk menghasilkan keuntungan. Misalnya pada
tahun 1903 dan 1908, seorang professor pskologi, Walter Dill Scott, menerbitkan
buku yang berjudul The Theory of Advertising dan The Psychology of
Advertising. Dalam buku tersebut pada intinya Scott berargumen bahwa karena
manusia sebagai konsumen bukanlah makhluk yang seratus persen rasional maka
mereka dapat dipengaruhi. Iklan yang tadinya berfungsi sebagai alat penyalur
informasi berubah menjadi alat persuasi. Menurut Scott terdapat tiga tahap
teknik advertising yaitu : attention, comprehension dan understanding.
Yang perlu diperhatikan adalah pada tahap comprehension. Pada tahap ini,
iklan harus bisa menciptakan emosi positif terhadap produk yang ditawarkan.
Teori ini didukung oleh penelitian Jaap Stout (2014) dan Ademola B. Owolabi
(2009). Hasil kedua penelitian tersebut sama-sama menyatakan bahwa emosi
positif (aka kebahagiaan) cenderung mampu membuat orang jadi ingin membeli
produk yang diiklankan.
Tidak
sampai disitu, kebahagiaan juga digunakan perusahaan untuk membuat karyawan
terus loyal dan terus bekerja untuk menghasilkan profit untuk
perusahaan. Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana tingkat
kebahagiaan karyawan berdampak pada tingkat profit perusahaan. Misalnya menurut
insyncsurveys.com, beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa
perusahaan dengan karyawan yang sangat termotivasi, dapat menikmati penghasilan
26 persen lebih tinggi per karyawan. Itulah mengapa perusahaan memberikan
fasilitas-fasilitas bagi karyawan seperti tempat gym, kolam renang, atau
kayak di hotel tempat gw kerja dulu setahun sekali diadain jalan-jalan bareng
karyawan hotel plus kegiatan team building. Semua itu hanyalah alat yang
digunakan supaya elu tetap loyal dan tetap termotivasi untuk bekerja dan
menghasilkan uang untuk perusahaan. Tidak peduli apakah lu suka sama kerjaan
lu, tidak peduli lu rekan kerja lu berengsek semua, ga peduli bos lu bangsat,
ga peduli lu harus terpaksa senyum sama tamu yang makannya berantakan kayak
binatang, yang penting your job is fun!
Kalo dalam
konteks film Inside Out, kita harusnya jadi ngerti kenapa Joy ingin Sadness ga
ikut campur dalam kendali emosi Riley. Hal ini menggambarkan bagaimana
korporasi ga mau karyawannya sedih, karena karyawan yang sedih/tidak bahagia
tidak bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Jelas jadinya kenapa
korporasi selalu berusaha membuat kebahagiaan jadi emosi yang utama dalam diri
kita. Yang menarik adalah artikel yang berjudul 'Does it pay for firms to
invest in their worker’s wellbeing?' dari Voxeu.org yang intinya mengatakan
bahwa perusahaan hanya mau berinvestasi untuk kebahagiaan karyawan selama hal
tersebut membawa profit bagi perusahaan. Wakakakak thanks Voxeu, at least
lu jujur.
Kenapa gw
ngomongin ini semua? karena ada bahaya besar yang cukup mengancam dibalik
budaya kebahagiaan yang ditanamkan oleh para babi kapitalis. Tanpa kita sadari,
kita hidup diera surveillance. Babi-babi tersebut berusaha masuk ke
sendi-sendi kehidupan privat masyarakat dengan tujuan untuk memonitor dan
mencari tahu bagaimana menjaga agar orang-orang tetap memiliki emosi positif,
tetap bahagia. Untuk tahu apa yang membuat mood kita selalu positif mereka kan
butuh data. Bagaimana mereka bisa memperoleh data tersebut? dengan cara
memantau setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah hal yang mengerikan karena
setiap aspek kehidupan kita akan dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjadi
alat yang membawa profit untuk mereka. Kita ga bakal tahu lagi apakah
kulit putih itu lambang kecantikan ato itu adalah hasil pemrograman iklan
produk pemutih kulit. Kita diprogram kayak robot buat jadi budak para babi
tersebut.
Salah satu
contoh yang cukup horor adalah pada tahun 2014 Facebook mempublikasikan paper
akademik yang berisikan bagaimana sosial media tersebut berhasil memanipulasi
mood penggunanya lewat manipulasi news feed tanpa konsen pengguna (link
untuk mengunduh papernya akan gw cantumkan di daftar pustaka). Ditambah lagi
dengan berita baru-baru ini tentang kebocoran data Facebook yang diperjual
belikan untuk korporasi. Ini cocok banget nih buat jadi episodenya Black
Mirror. Selain itu, tahun 2014 British Airways melakukan uji coba happiness
blanket, yaitu selimut yang bisa memonitor keadaan emosi penumpang dengan
melihat aktifitas neuron. Kalo penumpangnya rileks, selimutnya berubah
warna jadi biru. Alat ini bukan cuma memonitor keadaan emosi saja, tapi juga
mengumpulkan data mengenai apa yang membuat penumpang menjadi rileks dan
bagaimana efeknya terhadap otak. Aplikasi-aplikasi yang ada di smartphone
lu pada itu banyak yang punya fitur pengumpulan data. Apps buat diet
misalnya mengumpulkan data tiap harinya tentang gaya hidup dan pola makan
pengguna.
Apakah
temen-temen sekarang sudah sadar ancaman yang sedang mengintai kehidupan kita.
Hak-hak privat kita sedang dirampas oleh babi-babi tersebut dan gobloknya kita
ngebiarin. Sekarang gimana caranya kita tahu kalo Facebook ga lagi memanipulasi
emosi kita? gimana caranya kita tahu kalo data-data yang secara cuma-cuma lu
berikan melalui aplikasi smartphone tidak sedang diperjual belikan ke
perusahaan yang ingin tahu caranya memanipulasi lu pada supaya mengkonsumsi
produk yang mereka jual? Sekarang bagaimana kita bisa yakin kalo kita tetap
setia kerja sama perusahaan tertentu karena emang kita suka atau sudah
dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kita merasa ga enak buat keluar dari
situ? Silahkan temen-temen jawab pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing.
Kalau gitu
apakah kita harus menjadi manusia-manusia yang sendu, emo dan galau? Ya tentu
saja engga. Beberapa poin penting yag mau gw sampein disini pertama, untuk
mencapai emotional well being yang baik dan benar manusia butuh
mengekspresikan semua emosi yang ada. Kita ga bisa berfungsi sebagai manusia
yang sehat dengan mengandalkan satu emosi saja. Menurut paper yang dipublish di
International Journal of Psychophysiology, terdapat beberapa efek
negatif akibat emosi yang ditekan (emotion suppression). Misalnya
menurut Dunn et al (dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014) emotion
suppression dapat mengakibatkan memory impairment. Emotion
suppression juga dapat menstimulasi respon fisiologis maladaptive.
Selain itu emotion suppression juga memiliki efek sosial negatif seperti
berkurangnya akes ke dukungan sosial, berkurangnya kepuasan sosial dan dapat
melukai hubungan interpersonal (Amirkhan et al dalam Peters, Overall &
Jamieson, 2014). Bisa dilihat dalam film bagaimana Riley hampir menjadi depresi
gara-gara terus-terusan menekan emosi kesedihan dan berusaha untuk tetap
bahagia ditengah-tengah masalah yang dihadapi. Diakhir film kita melihat
bagaimana akhirnya Riley bisa kembali menjadi manusia yang sehat secara
emosional setelah membiarkan dirinya mengekspresikan kesedihan. Dari situ Riley
memiliki pemaknaan baru mengenai hidup dan mampu menjalani kehidupannya dengan
semangat yang baru.
Poin kedua
yang ingin gw sampaikan adalah kita harus mulai berintrospeksi diri, mulai
mempertanyakan realita yang ada di masyarakat. Apakah kebahagiaan yang selama
ini gw kejar adalah sesuatu yang meaningful atau cuma kesia-siaan hasil
penanaman ide oleh korporasi lewat iklan dan film? Apakah gw bahagia karena
benar-benar merasa bahagia atau karena manipulasi sosia media? Apakah benar
tujuan hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan? Friedrich Nietzsche pernah
menulis : “Mankind does not strive for happiness, only the Englishman does
that”. Silahkan interpretasi sendiri makna quotasinya. Mungkin kita harus
mengejar tipe kebahagiaan yang berbeda. Yunani kuno memiliki konsep kebahagiaan
yang disebut eudaimonia (eu = baik/good + daimon =jiwa/spirit).
Eudaimonia berarti good spirit atau jiwa yang baik. Definisi yang disetujui
banyak ahli adalah jiwa yang bertumbuh (flourish). Untuk mencapai eudaimonia
kita perlu memiliki ‘arete’ yang berarti kebajikan (virtue).
Menurut Aristoteles, hidup yang bahagia bukanlah hidup yang simply mengejar
kesenangan duniawi semata tapi mengejar nilai kebajikan dan keadilan (virtue
and justice).
Hal serupa
tapi tak sama dikemukakan oleh filsuf Denmark Soren Kierkegaard dalam bukunya
yang berjudul The Sickness Unto Death, mengatakan bahwa orang yang hidup
hanya mengejar kebahagiaan duniawi tidaklah benar-benar bahagia melainkan
sedang berada dalam fortvivlelse (despair/keadaan tanpa
pengharapan). Bagi Kierkegaard satu-satunya cara untuk hidup bahagia dan keluar
dari despair adalah dengan mengembalikan koneksi yang terputus dari Sang
Pencipta alias iman kepada Tuhan. Formula kesembuhan dari despair
menurut Kierkegaard :
“In
relating itself to itself and in willing to be itself, the self rests
transparently in the power that established it”
Ya begitu
aja kira-kira pembahasan gw tentang film Inside Out. Bagaimana teman-teman
punya pendapat berbeda? silahkan tulis pendapat teman-teman dikolom komentar.
Mudah-mudahan tulisan gw ada gunanya bagi teman-teman yang membaca. Sampe
ketemu ditulisan selanjutnya.
Referensi :
Davies, W.
(2015). The Happiness Industry : How the Government and Big Bussiness Sold Us
Well-Being. London: Verso Books
Lerner,
J.S., Li, Y., Valdesolo, P. & Kassam, K. (2014). Emotion and Decision
Making. Annual Review of Psychology.
Martinez,
E. & Garcia, A. (1997). What is Neoliberalism di
https://corpwatch.org/article/what-neoliberalism (akses 3 Mei 2018)
Owolabi,
A.B. (2009). Effects of Consumers Mood on Advertising Effectiveness. Europe's
Journal of Psychology. 4: 118-127
Peters,
B.J., Overall, N.C. & Jamieson, J.P. (2014). Physiological and Cognitive
Consequences of Suppressing and Expressing Emotion in Dyadic Interactions.
International Journal of Psychophysiology. 94: 100-1007
Prinz, J.
(2004). Which Emotions Are Basic. Emotion, Evolution and Rationality.
Scott,
W.D. (1913). The Psychology of Advertising : A Simple Expositions of the
Principles of Psychology In Their Relation to Successful Advertising. Boston :
Small, Maynard and Company.
Stout, J.
(2014). Overdosed on Happiness: Give Me One More Shot and I'll Buy Your
Product. The Influence of Positive and Negative Emotions in Advertising [master
thesis]. Enschede (NL): University of Twente
Stratton,
A.K. (2012). The Role of Emotion in Rational Decision-Making [master thesis].
Adelaide (AUS): Adelaide University
Link untuk
mengunduh paper studi Facebook : http://www.pnas.org/content/111/24/8788.full
No comments:
Post a Comment