Monday, August 27, 2018

Inside Out : Siapa Villain Sebenarnya?

Akhirnya setelah tiga tahun berlalu, kesampean juga nulis tentang nih film. Menurut gw, filmnya cukup bagus sih, cuma pas nonton pertama kali sebenarnya ga terlalu spesial buat gua, ya standard film Disney/Pixar lah. Tapi setelah gw nonton ulang serta melihat beberapa pembahasan di internet, gw jadi tersadar bahwa makna tersembunyi dari film ini super relevan sama keadaan society kita jaman sekarang, baik di Indonesia maupun dunia. Pertanyaan besar yang ingin gw bahas di dalam tulisan ini adalah : Apakah Joy itu beneran tokoh baik (the good guy) difilm ini? Fair warning, tulisan gw tentang film ini mungkin akan cukup panjang jadi please bear with me and read it carefully ya dan sebelumnya spoilers ahead.

Inside Out merupakan film animasi 3D yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios dan dipublikasikan oleh Walt Disney Pictures. Resepsi yang diterima film ini cukup bagus. Situs Rotten Tomato memberi film ini rating 98% berdasarkan 331 review dan rating rata-rata 8.9/10. Kritik memuji film ini sebagai "film animasi yang unik, memiliki visual yang indah serta sangat menyentuh. Film ini adalah tambahan baru untuk sederetan film animasi klasik modern milik Pixar yang luar biasa". Well not so bad eh?

Apa sih yang membuat film ini dapat diterima masyarakat dengan baik? Selain visual animasi yang bagus serta cerita yang menyentuh film ini juga memiliki konsep yang unik. Film animasi ini berusaha untuk membahas emosi manusia dengan mempersonifikasian lima emosi dasar manusia yaitu perasaan senang, sedih, takut, jijik dan marah (joy, sad, fear, disgust dan anger) dalam bentuk animasi yang cute dan unyu-unyu. Seakan-akan ada orang-orang kecil yang hidup di kepala manusia. You know lah standar Disney/Pixar. Pemilihan warna dalam merepresentasikan emosi pun cukup akurat. Seperti warna merah yang selalu diasosiasikan dengan passion dan rasa marah dan biru diasosiasikan dengan perasaan sedih, kalem, melow.

Konsep emosi yang disuguhkan dalam film tersebut memiliki landasan pada science di dunia nyata. Maksudnya bukan adanya makhluk-makhluk kecil yang mengendalikan emosi di dalam kepala kita ya. Pertama, lima emosi yang menjadi karakter film ini merupakan emosi dasar yang ditemukan pada manusia di seluruh dunia. Paul Ekman (Prinz, 2004) menggagas bahwa terdapat enam emosi dasar manusia (The Big Six emotions model) yaitu senang, sedih, takut, jijik, marah dan terkejut (surprise). Jadi sebenarnya ada enam emosi dasar manusia tapi entah kenapa di film ini cuma ada lima, coba entar gw tanya sama bosnya Pixar.

Kemudian ide mengenai hubungan antara emosi dan rasio (logika). Beberapa tahun yang lalu, para peneliti percaya bahwa emosi menganggu atau merusak proses berpikir logis dan pengambilan keputusan (Jones dalam Stratton, 2012). Namun akhir-akhir ini peneliti pro-emosi menemukan bahwa ternyata emosi justru memiliki peran penting dalam mengorganisir logika dan pengambilan keputusan. Salah satu fungsi emosi dalam kemampuan berpikir rasional adalah emosi membantu mengatur hal apa yang menjadi prioritas. Contohnya menurut Solomon (dalam Lerner et al, 2014), emosi marah adalah respon atas ketidakadilan. Loomes & Sugden (1982) antisipasi penyesalan dapat memberi alasan untuk menghindari pengambilan resiko yang berlebihan. Dalam film ini misalnya, kita bisa melihat Riley mengungkapkan rasa marah saat ia merasa ayahnya tidak adil dan rasa takut melindungi dirinya dari ancaman kematian. Seperti kata Robert Levenson (dalam Stratton, 2012) emosi merupakan alat yang efisien untuk beradaptasi dan bertahan hidup pada lingkungan yang terus berubah.

Tanpa rasa takut, filmnya bakalan berakhir tepat dimenit 3:11

HULK SMASH!
Selain itu, film ini juga dengan baik mendemostrasikan bagaimana memori bekerja. Dulu peneliti mengira bahwa memori itu kayak perpustakaan besar dimana kita menyimpan semua ingatan dan bisa sewaktu-waktu dimunculkan kembali. Tapi berkat majunya ilmu pengetahuan sekarang kita tahu bahwa ada yang namanya memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Ingatan yang tidak terlalu lama kita butuhkan akan tersimpan di memori jangka pendek. Ingatan dalam short term memory akan hilang jika sudah tidak lagi penting. Ingatan yang penting atau bahkan memiliki makna emosi tersendiri akan tersimpan di memori jangka panjang. Seperti dalam film, ingatan yang sudah tidak diperlukan oleh Riley akan dibuang ke memory dump. Seems they've done their homework really well huh?

Nih pasti karyawan hotel Santika ICE

Awesome science aside, gw mau menunjukkan bahwa mungkin selama ini kita memiliki pandangan yang salah tentang film ini. Sekarang gw mau tanya, dalam film ini siapa heronya? Gw yakin kita semua menganggap Joy lah pahlawan dalam film ini. Kalo gitu siapa bad guynya? Mungkin kita berpikir sadness , keluarga Riley yang disfungsional atau juga "hmm kayaknya ga ada deh tokoh jahanya". Gimana kalo gw bilang kalo lu semua salah? Dalam tulisan ini, gw mau berargumen bahwa Joy adalah tokoh jahat (the bad guy) dari film ini. Yup you heard me right!

Kalau disimak secara sekilas, film ini bercerita tentang Riley, gadis remaja berumur sebelas tahun yang harus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari pekerjaan ayahnya yang mengharuskan sekeluarga harus pindah rumah, Riley harus berpisah dengan teman-temannya dan beradaptasi dengan sekolah baru yang tidak ia kenal. Dalam film ini kita melihat bagaimana lima emosi tersebut berusaha untuk tetap membuat Riley bahagia, terutama Joy. Namun semua berubah ketika negara api menyerang. Eh sori salah franchise. Maksudnya, semua berubah saat Sadness secara impulsif menyentuh bola memori utama (core memories) dan membuat Riley menjadi sedih. Joy yang berusaha untuk merubah core memory menjadi bahagia terlempar dari headquarter bersama Sadness dan beberapa core memories yang lain. Singkat cerita, Riley kemudian memutuskan untuk kabur dari rumahnya di San Fransico dan pergi menuju rumah lamanya di Minessota. Kayaknya itu di daerah Tangerang Selatan. Joy memutuskan akan melakukan apapun untuk menjaga Riley tetap bahagia. Tapi pada akhir film, Sadness lah yang berhasil membuat Riley menyesali perbuatannya dan memutuskan untuk kembali ke orang tuanya. Joy mendapat pelajaran berharga bahwa terkadang kita harus membiarkan kesedihan muncul.

Kita bisa melihat film ini dari sudut pandang lain. Dalam film ini, kita bisa melihat bagaimana Joy bertindak layaknya seorang diktator. Dari awal film temen-temen bisa lihat bagaimana Joy bertindak seperti seorang bos egomaniak yang ngatur-ngatur emosi lain melakukan ini itu untuk satu tujuan yaitu supaya kebahagiaan selalu duduk di kursi paling depan dalam pikiran Riley. Buat Joy emosi bahagia adalah emosi yang terpenting dari emosi yang lain. Emosi yang lain hanyalah alat yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan. Kalau ada emosi yang menurutnya tidak berkontribusi untuk kebahagiaan atau bahkan mengancam kebahagiaan, maka Joy tidak akan segan-segan mengeliminasi emosi tersebut, emosi seperti rasa sedih (sadness) misalnya. Bisa dilihat dalam film bagaimana Joy melakukan segala cara untuk membuat sadness tidak menyentuh core memories. Pada intinya, Joy akan melakukan segala cara untuk membuat Riley terus bahagia.

Kalo dilihat dari sudut pandang tersebut, maka film ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana Joy yang dengan segala usahanya untuk mempertahankan agar Riley tetap merasa bahagia malah hampir membuat Riley menjadi manusia yang tidak bisa berfungsi dengan baik. Bisa dilihat dari petualangan Joy dan Sadness dalam mengembalikan core memories. Gara-gara Joy ngelarang Sadness untuk menyentuh satu core memory, akhirnya Joy dan sadness harus terlempar keluar dari headquarter mereka, meninggalkan tiga emosi lain yang harus pegang kendali. Hasilnya, emosi dan mood Riley sepanjang hari malah jadi berantakan. Riley jadi lebih agresif terhadap orangtuanya, kesulitan untuk berinteraksi dengan teman-temannya bahkan hampir kabur dari rumahnya. Segala usaha Joy untuk selalu berpikir dan bersikap positif malah membuat perjalanan pulang mereka tambah susah. Joy bahkan berhasil membunuh teman khayalan Riley, Bing Bong, walau tidak disengaja. Man what a bitch!

Jika dilihat dari sudut pandang ini, film inside out sebenarnya merupakan kritik terhadap budaya kebahagiaan wajib (compulsory happiness) pada masyarakat abad ke-20. Jaman sekarang kayaknya tidak merasa bahagia bukanlah pilihan. Ide untuk mengejar kebahagiaan gencar ditanamkan kedalam pikiran kita. Mulai dari konselor sekolah, HRD, psikolog, psikiater sampe motivator tv dengan golden waysnya mencekoki ide bahwa kita harus mengejar kebahagiaan. Selalu tampil dengan sikap yang positif, untuk terus keliatan senang, bahagia, senyum lebar, dll. Dalam bukunya yang berjudul The Happiness Industry, seorang sosiolog politik asal Inggris William Davies mengatakan bahwa :
“…happiness science is ‘critique turned inwards’….The relentless fascination with quantities of subjective feeling can only possibly divert critical attention away from broader political and economic problems

Yang ingin disampaikan oleh Davies adalah bahwa society kita sudah diprogram untuk percaya bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi. Bahwa kebahagiaan ada di dalam pikiran. Hal ini ditunjukkan dengan baik di film Inside Out dimana konflik yang dialami Riley terjadi di dalam pikirannya. Terdapat satu scene dalam film dimana ibu Riley meminta Riley agar tetap tersenyum ditengah-tengah kesulitan yang mereka hadapi. Pesan yang disampaikan oleh scene ini adalah : kita semua menderita tapi at least pasang topeng bahagia.

"Kid, when life fucks you in the ass, just keep smiling"


Sisi gelap dari hal ini adalah adanya celah untuk menyalahkan individu jika ia tidak bahagia. Kalo elu ga bahagia berarti lu kurang bertanggung jawab sama diri lu. Padahal sumber ketidakbahagiaan tidak sesederhana itu. Yang kita sering lupa adalah seringkali lingkungan tidak mengijinkan kita untuk bahagia. Man gimana caranya mau bahagia kalo besok aja ga tau makan makan apa? jadi kaya? gimana caranya jadi orang kaya kalo lu digaji ga seberapa? kalo means of production dikontrol sama segilintir orang? gimana caranya lu bisa terus senyum ditempat kerja kalo rekan kerja lu berengsek semua? kalo general manager pelit setengah mati ga memperhatikan kesejahteraan karyawan? kalo tamu yang lu layanin bangsat kayak tai? Terdapat beberapa studi mengenai bagaimana depresi dan ketidakbahagiaan banyak ditemukan di daerah-daerah yang kesenjangan sosialnya tinggi serta daerah yang sangat materialis dan kompetitif. Itulah yang Davies sebut sebagai ‘critique turned inwards’. Bukannya mengkritik sistem yang menjadikan kita sengsara, society memaksa kita untuk membelokkan kritik tersebut ke dalam diri kita. Membuat kita ga sadar sama ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.

Dalam bukunya tersebut, Davies menjelaskan bahwa budaya kebahagiaan merupakan elemen yang sangat penting untuk menjalankan roda neoliberal kapitalisme. Sebenernya definisi neoliberalisme sendiri masih banyak perdebatan tapi pada dasarnya neoliberalisme adalah sistem ekonomi dimana adanya pemberian kebebasan terhadap korporasi untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, korporasi yang memiliki hak untuk meregulasi kebijakan dan aturan pasar bebas. Sistem ekonomi ini ditandai dengan adanya kompetisi. Ini sistem agak lumayan jahat kalo dipikir-pikir. Menurut artikel yang ditulis oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia di Corpwatch.org, terdapat lima poin utama yang membentuk sistem neoliberalisme yaitu :
  • The Rule of the Market. Menghilangkan (atau at least mengurangi) aturan pemerintah yang mengekang korporasi tidak peduli seberapa banyak kehancuran yang dihasilkan. Membuka peluang perdagangan dan investasi internasional secara lebih luas, e.g NAFTA. Pengurangan gaji dan hak-hak karyawan. Menghilangkan kontrol harga
  • Cutting Public Expenditure For Social Services. Memotong biaya untuk fasilitas umum seperti perbaikan jalan, trotoar, dll. Katanya sih semua ini dilakukan untuk menghilangkan peran pemerintah dalam urusan ekonomi. Tapi mereka tidak menolak kebijakan pemerintah yang menguntungkan korporasi
  • Deregulation. Mengurangi aturan pemerintah yang bisa mengurangi profit
  • Privatization. Pengalihan goods and services seperti bank, jalan raya, sekolah, listrik bahkan air yang dimiliki pemerintah ke sektor privat. Semua dengan alasan efisiensi. Tapi pada kenyataannya malah terjadi adalah pemusatan kekayaan pada segelintir orang.
  • Eliminating the Concept of Public Good and Services. Menghilangkan konsep pelayanan dan komunitas sosial dan menggantinya dengan konsep “kalo mau berobat, kalo mau sekolah, kalo mau aman cari solusi sendiri! kalo gagal berarti lu males!”.
Kebahagiaan saat ini tidak lebih dari sekedar alat yang digunakan oleh para babi kapitalis untuk mengontrol masyarakat agar terus mengonsumsi produk dan mengeksploitasi kaum pekerja agar loyal dan rajin bekerja untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Banyak orang tidak sadari bahkan konsep kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini adalah hasil pemrograman pikiran lewat film, iklan, dll yang diendorse oleh korporasi untuk menghasilkan keuntungan. Misalnya pada tahun 1903 dan 1908, seorang professor pskologi, Walter Dill Scott, menerbitkan buku yang berjudul The Theory of Advertising dan The Psychology of Advertising. Dalam buku tersebut pada intinya Scott berargumen bahwa karena manusia sebagai konsumen bukanlah makhluk yang seratus persen rasional maka mereka dapat dipengaruhi. Iklan yang tadinya berfungsi sebagai alat penyalur informasi berubah menjadi alat persuasi. Menurut Scott terdapat tiga tahap teknik advertising yaitu : attention, comprehension dan understanding. Yang perlu diperhatikan adalah pada tahap comprehension. Pada tahap ini, iklan harus bisa menciptakan emosi positif terhadap produk yang ditawarkan. Teori ini didukung oleh penelitian Jaap Stout (2014) dan Ademola B. Owolabi (2009). Hasil kedua penelitian tersebut sama-sama menyatakan bahwa emosi positif (aka kebahagiaan) cenderung mampu membuat orang jadi ingin membeli produk yang diiklankan.



Tidak sampai disitu, kebahagiaan juga digunakan perusahaan untuk membuat karyawan terus loyal dan terus bekerja untuk menghasilkan profit untuk perusahaan. Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana tingkat kebahagiaan karyawan berdampak pada tingkat profit perusahaan. Misalnya menurut insyncsurveys.com, beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa perusahaan dengan karyawan yang sangat termotivasi, dapat menikmati penghasilan 26 persen lebih tinggi per karyawan. Itulah mengapa perusahaan memberikan fasilitas-fasilitas bagi karyawan seperti tempat gym, kolam renang, atau kayak di hotel tempat gw kerja dulu setahun sekali diadain jalan-jalan bareng karyawan hotel plus kegiatan team building. Semua itu hanyalah alat yang digunakan supaya elu tetap loyal dan tetap termotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk perusahaan. Tidak peduli apakah lu suka sama kerjaan lu, tidak peduli lu rekan kerja lu berengsek semua, ga peduli bos lu bangsat, ga peduli lu harus terpaksa senyum sama tamu yang makannya berantakan kayak binatang, yang penting your job is fun!


Kalo dalam konteks film Inside Out, kita harusnya jadi ngerti kenapa Joy ingin Sadness ga ikut campur dalam kendali emosi Riley. Hal ini menggambarkan bagaimana korporasi ga mau karyawannya sedih, karena karyawan yang sedih/tidak bahagia tidak bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Jelas jadinya kenapa korporasi selalu berusaha membuat kebahagiaan jadi emosi yang utama dalam diri kita. Yang menarik adalah artikel yang berjudul 'Does it pay for firms to invest in their worker’s wellbeing?' dari Voxeu.org yang intinya mengatakan bahwa perusahaan hanya mau berinvestasi untuk kebahagiaan karyawan selama hal tersebut membawa profit bagi perusahaan. Wakakakak thanks Voxeu, at least lu jujur.

Kenapa gw ngomongin ini semua? karena ada bahaya besar yang cukup mengancam dibalik budaya kebahagiaan yang ditanamkan oleh para babi kapitalis. Tanpa kita sadari, kita hidup diera surveillance. Babi-babi tersebut berusaha masuk ke sendi-sendi kehidupan privat masyarakat dengan tujuan untuk memonitor dan mencari tahu bagaimana menjaga agar orang-orang tetap memiliki emosi positif, tetap bahagia. Untuk tahu apa yang membuat mood kita selalu positif mereka kan butuh data. Bagaimana mereka bisa memperoleh data tersebut? dengan cara memantau setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah hal yang mengerikan karena setiap aspek kehidupan kita akan dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjadi alat yang membawa profit untuk mereka. Kita ga bakal tahu lagi apakah kulit putih itu lambang kecantikan ato itu adalah hasil pemrograman iklan produk pemutih kulit. Kita diprogram kayak robot buat jadi budak para babi tersebut.

Salah satu contoh yang cukup horor adalah pada tahun 2014 Facebook mempublikasikan paper akademik yang berisikan bagaimana sosial media tersebut berhasil memanipulasi mood penggunanya lewat manipulasi news feed tanpa konsen pengguna (link untuk mengunduh papernya akan gw cantumkan di daftar pustaka). Ditambah lagi dengan berita baru-baru ini tentang kebocoran data Facebook yang diperjual belikan untuk korporasi. Ini cocok banget nih buat jadi episodenya Black Mirror. Selain itu, tahun 2014 British Airways melakukan uji coba happiness blanket, yaitu selimut yang bisa memonitor keadaan emosi penumpang dengan melihat aktifitas neuron. Kalo penumpangnya rileks, selimutnya berubah warna jadi biru. Alat ini bukan cuma memonitor keadaan emosi saja, tapi juga mengumpulkan data mengenai apa yang membuat penumpang menjadi rileks dan bagaimana efeknya terhadap otak. Aplikasi-aplikasi yang ada di smartphone lu pada itu banyak yang punya fitur pengumpulan data. Apps buat diet misalnya mengumpulkan data tiap harinya tentang gaya hidup dan pola makan pengguna.


Apakah temen-temen sekarang sudah sadar ancaman yang sedang mengintai kehidupan kita. Hak-hak privat kita sedang dirampas oleh babi-babi tersebut dan gobloknya kita ngebiarin. Sekarang gimana caranya kita tahu kalo Facebook ga lagi memanipulasi emosi kita? gimana caranya kita tahu kalo data-data yang secara cuma-cuma lu berikan melalui aplikasi smartphone tidak sedang diperjual belikan ke perusahaan yang ingin tahu caranya memanipulasi lu pada supaya mengkonsumsi produk yang mereka jual? Sekarang bagaimana kita bisa yakin kalo kita tetap setia kerja sama perusahaan tertentu karena emang kita suka atau sudah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kita merasa ga enak buat keluar dari situ? Silahkan temen-temen jawab pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing.
Kalau gitu apakah kita harus menjadi manusia-manusia yang sendu, emo dan galau? Ya tentu saja engga. Beberapa poin penting yag mau gw sampein disini pertama, untuk mencapai emotional well being yang baik dan benar manusia butuh mengekspresikan semua emosi yang ada. Kita ga bisa berfungsi sebagai manusia yang sehat dengan mengandalkan satu emosi saja. Menurut paper yang dipublish di International Journal of Psychophysiology, terdapat beberapa efek negatif akibat emosi yang ditekan (emotion suppression). Misalnya menurut Dunn et al (dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014) emotion suppression dapat mengakibatkan memory impairment. Emotion suppression juga dapat menstimulasi respon fisiologis maladaptive. Selain itu emotion suppression juga memiliki efek sosial negatif seperti berkurangnya akes ke dukungan sosial, berkurangnya kepuasan sosial dan dapat melukai hubungan interpersonal (Amirkhan et al dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014). Bisa dilihat dalam film bagaimana Riley hampir menjadi depresi gara-gara terus-terusan menekan emosi kesedihan dan berusaha untuk tetap bahagia ditengah-tengah masalah yang dihadapi. Diakhir film kita melihat bagaimana akhirnya Riley bisa kembali menjadi manusia yang sehat secara emosional setelah membiarkan dirinya mengekspresikan kesedihan. Dari situ Riley memiliki pemaknaan baru mengenai hidup dan mampu menjalani kehidupannya dengan semangat yang baru.

Poin kedua yang ingin gw sampaikan adalah kita harus mulai berintrospeksi diri, mulai mempertanyakan realita yang ada di masyarakat. Apakah kebahagiaan yang selama ini gw kejar adalah sesuatu yang meaningful atau cuma kesia-siaan hasil penanaman ide oleh korporasi lewat iklan dan film? Apakah gw bahagia karena benar-benar merasa bahagia atau karena manipulasi sosia media? Apakah benar tujuan hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan? Friedrich Nietzsche pernah menulis : “Mankind does not strive for happiness, only the Englishman does that”. Silahkan interpretasi sendiri makna quotasinya. Mungkin kita harus mengejar tipe kebahagiaan yang berbeda. Yunani kuno memiliki konsep kebahagiaan yang disebut eudaimonia (eu = baik/good + daimon =jiwa/spirit). Eudaimonia berarti good spirit atau jiwa yang baik. Definisi yang disetujui banyak ahli adalah jiwa yang bertumbuh (flourish). Untuk mencapai eudaimonia kita perlu memiliki ‘arete’ yang berarti kebajikan (virtue). Menurut Aristoteles, hidup yang bahagia bukanlah hidup yang simply mengejar kesenangan duniawi semata tapi mengejar nilai kebajikan dan keadilan (virtue and justice).
Hal serupa tapi tak sama dikemukakan oleh filsuf Denmark Soren Kierkegaard dalam bukunya yang berjudul The Sickness Unto Death, mengatakan bahwa orang yang hidup hanya mengejar kebahagiaan duniawi tidaklah benar-benar bahagia melainkan sedang berada dalam fortvivlelse (despair/keadaan tanpa pengharapan). Bagi Kierkegaard satu-satunya cara untuk hidup bahagia dan keluar dari despair adalah dengan mengembalikan koneksi yang terputus dari Sang Pencipta alias iman kepada Tuhan. Formula kesembuhan dari despair menurut Kierkegaard :
In relating itself to itself and in willing to be itself, the self rests transparently in the power that established it

Ya begitu aja kira-kira pembahasan gw tentang film Inside Out. Bagaimana teman-teman punya pendapat berbeda? silahkan tulis pendapat teman-teman dikolom komentar. Mudah-mudahan tulisan gw ada gunanya bagi teman-teman yang membaca. Sampe ketemu ditulisan selanjutnya.




Referensi :
Davies, W. (2015). The Happiness Industry : How the Government and Big Bussiness Sold Us Well-Being. London: Verso Books
Lerner, J.S., Li, Y., Valdesolo, P. & Kassam, K. (2014). Emotion and Decision Making. Annual Review of Psychology.
Martinez, E. & Garcia, A. (1997). What is Neoliberalism di https://corpwatch.org/article/what-neoliberalism (akses 3 Mei 2018)
Owolabi, A.B. (2009). Effects of Consumers Mood on Advertising Effectiveness. Europe's Journal of Psychology. 4: 118-127
Peters, B.J., Overall, N.C. & Jamieson, J.P. (2014). Physiological and Cognitive Consequences of Suppressing and Expressing Emotion in Dyadic Interactions. International Journal of Psychophysiology. 94: 100-1007
Prinz, J. (2004). Which Emotions Are Basic. Emotion, Evolution and Rationality.
Scott, W.D. (1913). The Psychology of Advertising : A Simple Expositions of the Principles of Psychology In Their Relation to Successful Advertising. Boston : Small, Maynard and Company.
Stout, J. (2014). Overdosed on Happiness: Give Me One More Shot and I'll Buy Your Product. The Influence of Positive and Negative Emotions in Advertising [master thesis]. Enschede (NL): University of Twente
Stratton, A.K. (2012). The Role of Emotion in Rational Decision-Making [master thesis]. Adelaide (AUS): Adelaide University
Link untuk mengunduh paper studi Facebook : http://www.pnas.org/content/111/24/8788.full

No comments:

Post a Comment

Assassins Creed : Kekeliruan Kredo Assassin

Baru aja beberapa bulan lalu namatin Assassins Creed Origins, eh Assassins Creed Oddysey udah keluar aje.Emang begitu nasib maen bajak...