Tuesday, August 28, 2018

Wonder Woman : Apakah Manusia Pantas diselamatkan?

"It's not about deserve, it's about what you believe. And i believe in love" -- Diana of Themyscira

Untuk mempersiapkan hype Aquaman dan Shazam dan pastinya Wonder Woman 2, gw memutuskan untuk nulis tentang Wonder Woman. Kayaknya ga perlu diragukan lagi, Wonder Woman telah sukses menjadi ikon kultural tahun 2017. Karena kesuksesannya tersebut, sutradara Patty Jenkins memutuskan untuk membuat sekuelnya yaitu Wonder Woman 1984 yang akan tayang ntar tahun 2019.

Menurut gw sendiri, Wonder Woman pantes mendapatkan kesuksesan karena film ini merupakan sebuah revolusi. Selain punya theme song super kece (coba sebutin theme song superhero lain yang se-memorable Wonder Woman) ciptaan Hans Zimmer dan Junkie XL, diperankan oleh Gal Gadot (aktris peringkat empat dengan bayaran paling mahal di Holywood saat ini), film ini juga berhasil mengangkat image superhero wanita yang dimana genre superhero didominasi oleh laki-laki. Akhirnya selama bertahun-tahun kita bisa punya image seorang pahlawan wanita yang sangat memorable.

Selain itu, film ini merupakan angin segar bagi DC Extended Universe. Ya kita tahu sendiri lah ya gimana nasib yang menimpa film DCEU yang lain dengan rating dan review, kayaknya ga perlu gw deh ya, bikin sakit hati hikz..hikzz. Namun, Wonder Woman berhasil menuai ulasan yang lebih banyak positif dibanding negatif. Bahkan situs rotten tomato saja sampai memberikan rating film ini 92% tomatometer dengan 88% audience score. Padahal kalo temen-temen tahu, rotten tomato tuh pelit banget kalo ngasih rating. Ini adalah film DCEU pertama yang bisa dapet rating setinggi itu di rotten tomato. Kesimpulan yang bisa gw ambil disini adalah Gal Gadot dan Patty Jenkins adalah superhero yang sebenarnya. Film mengenai strong independent woman yang disutradari oleh strong independent woman hanya akan menghasilkan masterpiece. Dan temen-temen jangan heran kalo film ini juga penuh dengan pesan feminisme yang akan gw bahasa dalam tulisan ini.

Walaupun bisa dibilang sukses, film ini tidak luput akan kritik. salah satu kritik film ini adalah dari sisi villainnya. Orang-orang menganggap bahwa Ares adalah villain yang kurang menarik, standard dan cliche. Menurut gw pandangan tersebut tidaklah tepat. Jika diamati dengan seksama, konflik Ares dengan Diana sangatlah menarik dan justru jauh dari cliche. Jika dibandingkan dengan villain-villain lain yang motivasinya kebanyakan untuk menguasai dunia, menguasai alam semesta, dll, konflik Ares dan Diana sangatlah filosofis. Seperti apa? Let's dive right in.

Tidak seperti villain-villain lain, Ares tidak secara membabi buta benci terhadap Diana, no! Justru Ares ingin mengajak Diana untuk bisa melihat kondisi dunia yang sebenarnya. Konflik Ares dengan Diana terletak pada pandangan mereka mengenai sifat manusia (human nature) dan konsep keadilan (nature of justice). Diana percaya bahwa manusia pada dasarnya (esensinya) baik dan hanya menjadi jahat karena pengaruh Ares


sedangkan Ares percaya bahwa manusia pada dasarnya bajingan.


Bisa dibilang kalo ini adalah pertarungan essentialism. Essentialism adalah pandangan filsafat yang mengatakan bahwa setiap benda yang ada di dunia ini punya properti inheren atau essence didalamnya yang berfungsi sebagai identitas benda tersebut dan membedakannya dengan benda lain.

Pandangan Ares terhadap manusia cocok dilihat dari kacamata Sigmund Freud, bapak psikoanalisa dari Swiss, Dalam bukunya yang berjudul Civilisation and its Discontents, Freud menulis :

“The bit of truth behind all this – one so eagerly denied – is that men are not gentle, friendly creatures wishing for love, who simply defend themselves if they are attacked, but that a powerful measure for aggression has to be reckoned as part of their instinctual endowment. The result is that their neighbour is to them not only a possible helper or sexual object, but also a temptation to them to gratify their aggressiveness on him, to exploit his capacity for work without recompense, to use him sexually without his consent, to seize his possessions, to humiliate him, to cause him to pain, to torture and kill him. Homo Homini Lupus…” 




Menurut Freud, manusia pada dasarnya cuma punya dua insting yaitu :

1. Life Instinct/ insting seks (Eros). Dalam teori Freudian, insting ini kerjaannya mencari kenikmatan biologis dan memiliki peran untuk mendorong manusia bertahan hidup. Kenikmatan biologis yang dimaksud pada intinya adalah seks. Tapi tidak terbatas pada kenikmatan organ seksual saja. Menurut Freud, seluruh tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyediakan kenikmatan seksual yang ia sebut sebagai erotogenic zone. Jadi, kenikmatan yang didapat dari makan dan minum misalnya, pada dasarnya adalah kenikmatan seksual karena mulut merupakan salah satu erotogenic zone. Menurut Freud, dorongan bertahan hidup manusia didasari oleh cinta pada diri sendiri (narcissism). Oleh karena itu, dorongan perilaku manusia pada dasarnya adalah untuk kenikmatan diri sendiri.

2. Death instinct/ insting agresi (Thanatos). Menurut Freud, semua organisme yang ada di dunia ini (termasuk manusia) punya keinginan (desire) untuk kembali ke bentuk inorganic (inorganic state), ke keadaan dimana manusia tidak lagi harus memuaskan hawa nafsu alias manusia memiliki keinginan untuk mengakhiri eksistensi (mati). Namun, karena death instinct harus berintegrasi dengan life instinct, maka ekspresinya berubah menjadi keinginan untuk menghancurkan orang lain. Gosip, sarkasme, becandaan ngejek, bullying adalah contoh ekpresi death instinct dalam level rendah. Pada level ekstrim contohnya adalah tindakan terorisme seperti yang sedang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Seperti kata Freud : Manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Freud dan Ares juga sama-sama penganut psychic determinism, yaitu pandangan filsafat yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas yang artinya manusia tidak memiliki kontrol terhadap perilakunya. Segala perilaku manusia sudah ditentukan oleh dorongan insting hewani yang udah dari sononya. Karena insting inheren yang ada di dalam diri manusia adalah jahat maka Ares percaya bahwa manusia terkutuk untuk jadi makhluk bajingan seumur hidup.

Hal ini membawa kita kepada scene dimana Diana mengatakan :

It's not about deserve, it's about my fabulous hair

Ini line yang chessy at best dan membingungkan at worst. Gw yakin banyak diantara temen-temen yang udah nonton pasti juga bingung atau mungkin mengira line ini ditujukan untuk Steve Trevor. Tapi gw akan mencoba nge-break down makna dibalik line tersebut. Pertama-tama kita harus melihat konteks dibalik line tersebut. Kata-kata tersebut diucapkan Diana sebagai respon terhadap klaim Ares terhadap manusia. Apa saja klaim tersebut? Karena seperti yang udah dibahas bahwa Ares percaya kalo manusia itu pada dasarnya berengsek, maka :

1) Manusia pantas untuk dihukum/dihancurkan.
2) Manusia tidak pantas memperoleh keselamatan.


Mari kita bahas poinya satu per satu. Gw akan bahas mulai dari poin pertama yaitu manusia pantas untuk dihancurkan. Klaim ini mengacu pada konsep yang disebut sebagai retributive justice. Dalam buku Metaphysics of Morals, Immanuel Kant berkata bahwa :

“Judicial punishment can never be used merely as a means to promote some other good for the criminal himself or for civil society, but instead it must in all cases be imposed on him only on the ground that he has committed a crime” 

Retributive justice secara sederhana adalah pandangan bahwa respon terbaik dari suatu tindak kejahatan adalah hukuman yang proporsional/setimpal dengan kejahatan tersebut. Kurang lebih mata ganti mata, gigi ganti gigi. Kalo lu berbuat jahat maka lu pantes (bahkan harus) dijahatin balik. Pandangan ini merupakan respon Ares dari apa yang ia saksikan dilakukan oleh umat manusia sepanjang sejarah. Ares melihat bahwa manusia kerjaanya ga pernah lebih dari saling menghancurkan, saling memanfaatkan satu sama lain demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu Ares dibalik layar mendalangi perang dunia pertama. Biar manusia saling menghancurkan satu sama lain. Karena menurut Ares karena manusia udah sebegitu busuknya, manusia tidak pantas untuk hidup.

Klaim Ares yang kedua adalah : manusia tidak pantas untuk diselamatkan. Pandang ini disebut sebagai equity norm of distributive justice. Klaim ini merupakan klaim yang lebih personal untuk Diana karena memunculkan pertanyaan besar : siapa yang pantas diselamatkan? Donelson R. Forsyth mendefinisikan Equity norm of distributive justice sebagai tipe keadilan dimana individu hanya berhak mendapatkan sesuatu berdasarkan proporsi usaha/kontribusi yang sudah ia berikan. Contoh singkatnya pegawai yang jam kerjanya lebih lama berhak mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibanding dengan jam kerjanya sebentar. Basically ini tipe keadilan berdasarkan merit (usaha). Klaim ini bukan cuma miliki Ares. Bahkan Hippolyta, nyokapnya Diana, berkali-kali mengatakan hal yang sama.

Nak, dunia tidak pantas mendapatkan film sebagus ini

Sekarang kita pindahkan kamera ke Diana. Diana memiliki pandangan yang berbeda dengan Ares, namun uniknya pandangan Diana mengalami evolusi disepanjang film. Disaat yang lain menjustifikasi tindakan mereka melalui kacamata retributive dan distributive justice, Diana mengambil jalur berbeda. Pada awal film, keinginan Diana untuk menolong manusia didasarkan oleh kesadaran bahwa dirinya mengemban suatu tugas (duty/deon). Pandangan ini disebut sebagai deontologi. Deontologi adalah teori moral yang mengatakan bahwa moralitas suatu tindakan haruslah didasarkan pada benar atau salahnya tindakan tersebut sesuai dengan aturan yang disepakati. Teori ini tidak menjadikan konsekuensi sebagai tolak ukur benar atau salahnya suatu tindakan. Jadi kita memiliki tugas (duty) untuk melakukan tindakan yang benar dan tidak melakukan yang salah tidak peduli konsekuensinya. Menurut Immanuel Kant, untuk menentukan apakah suatu tindakan dapat disebut moral, tindakan tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ia sebut sebagai categorical imperative yaitu :

1. Tindakan harus bisa dijadikan hukum yang universal (maxim). Misalnya lu mau selingkuh. Untuk menentukan kalo selingkuh itu bener ato salah lu harus nanya balik ke diri sendiri “gw mau ga diselingkuhin?” kalo ga mau berarti tindakah selingkuh tidak universal, maka selingkuh bukanlah tindakan yang benar/moral.
2. Tindakan harus menjadikan manusia sebagai tujuan bukan sebagai cara (mankind as an end not means). Kalo lu pacaran sama orang cuma buat ngedapetin hartanya maka itu bukan tindakan yang benar karena lu memperlakukan manusia lain sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu.
3. Bertindaklah seakan-akan lu tuh seorang pemimpin suatu negara dan tindakan-tindakan lu kalo dijadikan hukum bisa menciptakan keharmonisan.

Pandangan deontologi sebenarnya tidak unik milik Diana. Hampir semua superhero yang pernah ada memegang beberapa versi deontologi sebagai kompas moral mereka. Contoh yang paling klasik adalah Superman dengan slogan “The Truth, Justice and the American Way dan Batman dengan ‘no killing code’nya. Versi deontologi yang dipegang Diana di film ini bernama divine command theory. Divine command theory mengatakan bahwa tindakan yang benar atau salah adalah apa yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa (Divine), sehingga manusia memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan hal tersebut. Misalnya kalo YMK udah menentukan kalo nyimeng adalah salah ya berarti nyimeng itu salah apapun kondisinya. Hal ini bisa dilihat dari persistensi Diana diawal film untuk menyelamatkan manusia karena hal itu adalah tugas yang diberikan para dewa kepada kaum Amazon.

Bukan amazon ini ya maksudnya!

Kita melihat disepanjang film Diana memegang teguh pandangan tersebut. Namun semua berubah ketika ia berhasil membunuh Ludendorff. Manusia tetap tidak berhenti perang walaupun ia telah mati. Pada akhirnya Diana mulai merefleksikan kata-kata emak nya. Mungkin manusia emang udah saking busuknya ga pantes diselamatkan. Jadi disini kita lihat bahwa berbeda dengan Ares, Diana mulai melepaskan semua nilai-nilai yang ia pegang. Diana mengalami crisis of conscience. Bagaimana caranya Diana keluar dari krisis tersebut? Kita balik lagi ke cheesy line :


Sekilas terlihat kalo Diana percaya akan cintanya Steve Trevor. Tapi please lah lu percaya cliche kayak gitu bisa ada difilm epic kayak  gini? haha. Engga coy, maksud dari kata-kata cheesy ini baru menjadi jelas di akhir film. Diakhir perjalanan Diana, kita melihat ada satu hal yang membedakan Diana dengan superhero lain. Superhero lain kayak Superman, Batman atau Captain America memiliki sense of duty, yaitu bahwa membela yang lemah merupakan suatu tugas yang wajib dijalankan. Tapi tidak untuk Diana. Diana menyadari bahwa menyelamatkan dunia bukanlah tugasnya. Ia tidak memiliki kewajiban untuk menyelamatkan siapapun karena tidak ada satu manusia pun yang pantas diselamatkan. Diana mulai menyadari bahwa manusia itu sangat complex, sangat rumit. Dengan segala kebaikan mereka, manusia tetap memiliki potensi kejahatan di dalam hati mereka. Apakah hal tersebut membuat Diana menyerah atas manusia? Nope! Diana tetap memilih untuk menyelamatkan bukan karena manusia pantas diselamatkan tetapi karena ia mau, karena ia cinta sama manusia. She loves the shit out of people. Jadi kata kuncinya disini adalah cinta.


Nah inilah yang membuat Diana menjadi superhero yang menarik serta berbeda dengan superhero lain. Kalo superhero lain menempatkan sense of moralitynya pada deontologi atau utilitarianisme, Diana memilih jalur moral yang berbeda yang belum pernah ditampilkan oleh superhero lain yang bernama care ethics. Care ethics adalah salah satu teori moralitas yang saat ini mulai mendapat spotlight. Berbeda dengan teori moralitas lain, care ethics tidak berbicara mengenai keadilan dalam arti yang sempit, melainkan lebih mengenai kepedulian. Bukan tentang apa yang pantas didapatkan seseorang melainkan bagaimana harus merespon orang yang membutuhkan bantuan sekalipun orang itu jahat. Kayak orangtua yang sayang sama anaknya sekalipun anaknya macem Ahmad Dhani. Care ethics adalah teori moralitas yang didasarkan oleh cinta.

Ide mengenai Care ethics bisa ditelusuri jejaknya dari psikolog Amerika, Carol Gilligan. Dalam bukunya In a Different Voice, Gilligan menginvestigasi perkembangan moralitas perempuan. Selama ini teori-teori psikologi perkembangan maupun kepribadian mengatakan bahwa konsep moralitas perempuan lebih inferior dari laki-laki. Namun Gilligan menemukan bahwa, wanita memiliki "suara" yang berbeda tentang moralitas. Karena perempuan suatu saat akan memiliki anak, maka perempuan dari sononya punya inner instinct untuk care atau peduli. Kadang perempuan terlihat kurang konsisten mengenai pemecahan masalah saat ada dilema, tapi menurut Gilligan itu karena perempuan punya kecenderungan untuk mengutamakan hubungan /relationship dengan orang lain. Perempuan selalu mencari cara untuk menyelesaikan dilema tanpa harus menyakiti perasaan orang lain atau membuat hubungan dengan orang lain menjadi rusak. Hal ini udah terlihat dari masa kanak-kanak pada diri perempuan. Coba temen-temen check this video out :


Perempuan punya insting dasar untuk peduli/care dan mencintai sesamanya. Intinya sih begitu tapi kalo temen-temen mendapat insight lebih lengkap silahkan baca bukunya karena ini buku bagus banget sih, sangat insightful.


Care ethics bukanlah teori moralitas yang memiliki aturan strict kayak categorical imperativenya deontologi, namun ada nilai-nilai umum yang dipegang dalam teori ini seperti :
  1. Attentiveness. Dimana kita harus peka terhadap kebutuhan orang lain
  2. Responsibility. Dalam bahasa inggris kata kewajiban ada dua yaitu responsibility dan obligation. Namun dalam care ethics, responsibility beda dengan obligation.Menurut Joan Tronto, obligation merujuk pada kewajiban secara hukum, sedangkan responsibility lebih ambigu ,artinya kewajiban menolong seseorang itu berdasarkan kemampuan si penolong. Orang lebih punya kemampuan, lebih memiliki kewajiban untuk menolong orang. 
  3. Competency. Seperti poin diatas, untuk menolong orang lain si penolong harus kompeten atau memiliki kemampuan untuk menolong. Kalo engga ntar bukannya nolong malah nambanh susah.
  4. Responsiveness. Untuk menolong seseorang, kita harus melihat bagaimana orang merespon pertolongan kita. Tujuannya supaya kita tahu sejauh mana orang itu butuh bantuan. 
 Jadi basically ini adalah teori moralitasnya feminis. Jadi pas banget ya, kita sedang melihat supehero perempuan yang menerapkan nilai-nilai feminisme. Gw bener-bener tercerahkan ketika tahu teori ini. Menurut gw ini adalah sesuatu yang diperlukan dunia kalo kita mau suatu saat bisa mencapai perdamaian. Teori ini mengajarkan bahwa setiap orang sebenarnya adalah makhluk yang rentan, lemah dan tidak berdaya walaupun sejahat apapun orang itu. Seringkali kan manusia melakukan tindakan jahat karena untuk menutupi kelemahan dirinya. Jadi daripada kita menghukum, film ini mau mengajak kita untuk bertanya bagaimana caranya membantu orang lain sesuai kebutuhan dirinya. Hal ini ditunjukkan oleh Diana saat ia tergerak untuk mengampuni nyawa Dr. Poison.

Diana : "Minggir bos, berat nih tank"

Jadi bagaimana menurut temen-temen? apakah manusia terkutuk jadi makhluk bajingan selamanya dan tidak pantas diselamatkan? atau maukah kita meniru Diana dan tetap mencintai sesama manusia walaupun mereka mungkin sangat ga pantas untuk dicintai? Atau lebih penting lagi, apakah bisa kita kayak Diana? perlu diingat, Diana itu bukan manusia tapi dia demi-god. Dia memiliki posisi diatas manusia. Sedangkan manusia akan selalu memiliki kekurangan. Kita akan selalu memiliki instinct untuk egois dan memikirkan diri sendiri. Bisakah kita mengatasi sifat kebinatangan kita (transcend) atau apakah kita akan selamanya terkutuk untuk saling menghabisi satu sama lain? Silahkan tulis pendapat temen-temen di kolom komentar dan selamat pusing.
 





Monday, August 27, 2018

Inside Out : Siapa Villain Sebenarnya?

Akhirnya setelah tiga tahun berlalu, kesampean juga nulis tentang nih film. Menurut gw, filmnya cukup bagus sih, cuma pas nonton pertama kali sebenarnya ga terlalu spesial buat gua, ya standard film Disney/Pixar lah. Tapi setelah gw nonton ulang serta melihat beberapa pembahasan di internet, gw jadi tersadar bahwa makna tersembunyi dari film ini super relevan sama keadaan society kita jaman sekarang, baik di Indonesia maupun dunia. Pertanyaan besar yang ingin gw bahas di dalam tulisan ini adalah : Apakah Joy itu beneran tokoh baik (the good guy) difilm ini? Fair warning, tulisan gw tentang film ini mungkin akan cukup panjang jadi please bear with me and read it carefully ya dan sebelumnya spoilers ahead.

Inside Out merupakan film animasi 3D yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios dan dipublikasikan oleh Walt Disney Pictures. Resepsi yang diterima film ini cukup bagus. Situs Rotten Tomato memberi film ini rating 98% berdasarkan 331 review dan rating rata-rata 8.9/10. Kritik memuji film ini sebagai "film animasi yang unik, memiliki visual yang indah serta sangat menyentuh. Film ini adalah tambahan baru untuk sederetan film animasi klasik modern milik Pixar yang luar biasa". Well not so bad eh?

Apa sih yang membuat film ini dapat diterima masyarakat dengan baik? Selain visual animasi yang bagus serta cerita yang menyentuh film ini juga memiliki konsep yang unik. Film animasi ini berusaha untuk membahas emosi manusia dengan mempersonifikasian lima emosi dasar manusia yaitu perasaan senang, sedih, takut, jijik dan marah (joy, sad, fear, disgust dan anger) dalam bentuk animasi yang cute dan unyu-unyu. Seakan-akan ada orang-orang kecil yang hidup di kepala manusia. You know lah standar Disney/Pixar. Pemilihan warna dalam merepresentasikan emosi pun cukup akurat. Seperti warna merah yang selalu diasosiasikan dengan passion dan rasa marah dan biru diasosiasikan dengan perasaan sedih, kalem, melow.

Konsep emosi yang disuguhkan dalam film tersebut memiliki landasan pada science di dunia nyata. Maksudnya bukan adanya makhluk-makhluk kecil yang mengendalikan emosi di dalam kepala kita ya. Pertama, lima emosi yang menjadi karakter film ini merupakan emosi dasar yang ditemukan pada manusia di seluruh dunia. Paul Ekman (Prinz, 2004) menggagas bahwa terdapat enam emosi dasar manusia (The Big Six emotions model) yaitu senang, sedih, takut, jijik, marah dan terkejut (surprise). Jadi sebenarnya ada enam emosi dasar manusia tapi entah kenapa di film ini cuma ada lima, coba entar gw tanya sama bosnya Pixar.

Kemudian ide mengenai hubungan antara emosi dan rasio (logika). Beberapa tahun yang lalu, para peneliti percaya bahwa emosi menganggu atau merusak proses berpikir logis dan pengambilan keputusan (Jones dalam Stratton, 2012). Namun akhir-akhir ini peneliti pro-emosi menemukan bahwa ternyata emosi justru memiliki peran penting dalam mengorganisir logika dan pengambilan keputusan. Salah satu fungsi emosi dalam kemampuan berpikir rasional adalah emosi membantu mengatur hal apa yang menjadi prioritas. Contohnya menurut Solomon (dalam Lerner et al, 2014), emosi marah adalah respon atas ketidakadilan. Loomes & Sugden (1982) antisipasi penyesalan dapat memberi alasan untuk menghindari pengambilan resiko yang berlebihan. Dalam film ini misalnya, kita bisa melihat Riley mengungkapkan rasa marah saat ia merasa ayahnya tidak adil dan rasa takut melindungi dirinya dari ancaman kematian. Seperti kata Robert Levenson (dalam Stratton, 2012) emosi merupakan alat yang efisien untuk beradaptasi dan bertahan hidup pada lingkungan yang terus berubah.

Tanpa rasa takut, filmnya bakalan berakhir tepat dimenit 3:11

HULK SMASH!
Selain itu, film ini juga dengan baik mendemostrasikan bagaimana memori bekerja. Dulu peneliti mengira bahwa memori itu kayak perpustakaan besar dimana kita menyimpan semua ingatan dan bisa sewaktu-waktu dimunculkan kembali. Tapi berkat majunya ilmu pengetahuan sekarang kita tahu bahwa ada yang namanya memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Ingatan yang tidak terlalu lama kita butuhkan akan tersimpan di memori jangka pendek. Ingatan dalam short term memory akan hilang jika sudah tidak lagi penting. Ingatan yang penting atau bahkan memiliki makna emosi tersendiri akan tersimpan di memori jangka panjang. Seperti dalam film, ingatan yang sudah tidak diperlukan oleh Riley akan dibuang ke memory dump. Seems they've done their homework really well huh?

Nih pasti karyawan hotel Santika ICE

Awesome science aside, gw mau menunjukkan bahwa mungkin selama ini kita memiliki pandangan yang salah tentang film ini. Sekarang gw mau tanya, dalam film ini siapa heronya? Gw yakin kita semua menganggap Joy lah pahlawan dalam film ini. Kalo gitu siapa bad guynya? Mungkin kita berpikir sadness , keluarga Riley yang disfungsional atau juga "hmm kayaknya ga ada deh tokoh jahanya". Gimana kalo gw bilang kalo lu semua salah? Dalam tulisan ini, gw mau berargumen bahwa Joy adalah tokoh jahat (the bad guy) dari film ini. Yup you heard me right!

Kalau disimak secara sekilas, film ini bercerita tentang Riley, gadis remaja berumur sebelas tahun yang harus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari pekerjaan ayahnya yang mengharuskan sekeluarga harus pindah rumah, Riley harus berpisah dengan teman-temannya dan beradaptasi dengan sekolah baru yang tidak ia kenal. Dalam film ini kita melihat bagaimana lima emosi tersebut berusaha untuk tetap membuat Riley bahagia, terutama Joy. Namun semua berubah ketika negara api menyerang. Eh sori salah franchise. Maksudnya, semua berubah saat Sadness secara impulsif menyentuh bola memori utama (core memories) dan membuat Riley menjadi sedih. Joy yang berusaha untuk merubah core memory menjadi bahagia terlempar dari headquarter bersama Sadness dan beberapa core memories yang lain. Singkat cerita, Riley kemudian memutuskan untuk kabur dari rumahnya di San Fransico dan pergi menuju rumah lamanya di Minessota. Kayaknya itu di daerah Tangerang Selatan. Joy memutuskan akan melakukan apapun untuk menjaga Riley tetap bahagia. Tapi pada akhir film, Sadness lah yang berhasil membuat Riley menyesali perbuatannya dan memutuskan untuk kembali ke orang tuanya. Joy mendapat pelajaran berharga bahwa terkadang kita harus membiarkan kesedihan muncul.

Kita bisa melihat film ini dari sudut pandang lain. Dalam film ini, kita bisa melihat bagaimana Joy bertindak layaknya seorang diktator. Dari awal film temen-temen bisa lihat bagaimana Joy bertindak seperti seorang bos egomaniak yang ngatur-ngatur emosi lain melakukan ini itu untuk satu tujuan yaitu supaya kebahagiaan selalu duduk di kursi paling depan dalam pikiran Riley. Buat Joy emosi bahagia adalah emosi yang terpenting dari emosi yang lain. Emosi yang lain hanyalah alat yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan. Kalau ada emosi yang menurutnya tidak berkontribusi untuk kebahagiaan atau bahkan mengancam kebahagiaan, maka Joy tidak akan segan-segan mengeliminasi emosi tersebut, emosi seperti rasa sedih (sadness) misalnya. Bisa dilihat dalam film bagaimana Joy melakukan segala cara untuk membuat sadness tidak menyentuh core memories. Pada intinya, Joy akan melakukan segala cara untuk membuat Riley terus bahagia.

Kalo dilihat dari sudut pandang tersebut, maka film ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana Joy yang dengan segala usahanya untuk mempertahankan agar Riley tetap merasa bahagia malah hampir membuat Riley menjadi manusia yang tidak bisa berfungsi dengan baik. Bisa dilihat dari petualangan Joy dan Sadness dalam mengembalikan core memories. Gara-gara Joy ngelarang Sadness untuk menyentuh satu core memory, akhirnya Joy dan sadness harus terlempar keluar dari headquarter mereka, meninggalkan tiga emosi lain yang harus pegang kendali. Hasilnya, emosi dan mood Riley sepanjang hari malah jadi berantakan. Riley jadi lebih agresif terhadap orangtuanya, kesulitan untuk berinteraksi dengan teman-temannya bahkan hampir kabur dari rumahnya. Segala usaha Joy untuk selalu berpikir dan bersikap positif malah membuat perjalanan pulang mereka tambah susah. Joy bahkan berhasil membunuh teman khayalan Riley, Bing Bong, walau tidak disengaja. Man what a bitch!

Jika dilihat dari sudut pandang ini, film inside out sebenarnya merupakan kritik terhadap budaya kebahagiaan wajib (compulsory happiness) pada masyarakat abad ke-20. Jaman sekarang kayaknya tidak merasa bahagia bukanlah pilihan. Ide untuk mengejar kebahagiaan gencar ditanamkan kedalam pikiran kita. Mulai dari konselor sekolah, HRD, psikolog, psikiater sampe motivator tv dengan golden waysnya mencekoki ide bahwa kita harus mengejar kebahagiaan. Selalu tampil dengan sikap yang positif, untuk terus keliatan senang, bahagia, senyum lebar, dll. Dalam bukunya yang berjudul The Happiness Industry, seorang sosiolog politik asal Inggris William Davies mengatakan bahwa :
“…happiness science is ‘critique turned inwards’….The relentless fascination with quantities of subjective feeling can only possibly divert critical attention away from broader political and economic problems

Yang ingin disampaikan oleh Davies adalah bahwa society kita sudah diprogram untuk percaya bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi. Bahwa kebahagiaan ada di dalam pikiran. Hal ini ditunjukkan dengan baik di film Inside Out dimana konflik yang dialami Riley terjadi di dalam pikirannya. Terdapat satu scene dalam film dimana ibu Riley meminta Riley agar tetap tersenyum ditengah-tengah kesulitan yang mereka hadapi. Pesan yang disampaikan oleh scene ini adalah : kita semua menderita tapi at least pasang topeng bahagia.

"Kid, when life fucks you in the ass, just keep smiling"


Sisi gelap dari hal ini adalah adanya celah untuk menyalahkan individu jika ia tidak bahagia. Kalo elu ga bahagia berarti lu kurang bertanggung jawab sama diri lu. Padahal sumber ketidakbahagiaan tidak sesederhana itu. Yang kita sering lupa adalah seringkali lingkungan tidak mengijinkan kita untuk bahagia. Man gimana caranya mau bahagia kalo besok aja ga tau makan makan apa? jadi kaya? gimana caranya jadi orang kaya kalo lu digaji ga seberapa? kalo means of production dikontrol sama segilintir orang? gimana caranya lu bisa terus senyum ditempat kerja kalo rekan kerja lu berengsek semua? kalo general manager pelit setengah mati ga memperhatikan kesejahteraan karyawan? kalo tamu yang lu layanin bangsat kayak tai? Terdapat beberapa studi mengenai bagaimana depresi dan ketidakbahagiaan banyak ditemukan di daerah-daerah yang kesenjangan sosialnya tinggi serta daerah yang sangat materialis dan kompetitif. Itulah yang Davies sebut sebagai ‘critique turned inwards’. Bukannya mengkritik sistem yang menjadikan kita sengsara, society memaksa kita untuk membelokkan kritik tersebut ke dalam diri kita. Membuat kita ga sadar sama ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.

Dalam bukunya tersebut, Davies menjelaskan bahwa budaya kebahagiaan merupakan elemen yang sangat penting untuk menjalankan roda neoliberal kapitalisme. Sebenernya definisi neoliberalisme sendiri masih banyak perdebatan tapi pada dasarnya neoliberalisme adalah sistem ekonomi dimana adanya pemberian kebebasan terhadap korporasi untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, korporasi yang memiliki hak untuk meregulasi kebijakan dan aturan pasar bebas. Sistem ekonomi ini ditandai dengan adanya kompetisi. Ini sistem agak lumayan jahat kalo dipikir-pikir. Menurut artikel yang ditulis oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia di Corpwatch.org, terdapat lima poin utama yang membentuk sistem neoliberalisme yaitu :
  • The Rule of the Market. Menghilangkan (atau at least mengurangi) aturan pemerintah yang mengekang korporasi tidak peduli seberapa banyak kehancuran yang dihasilkan. Membuka peluang perdagangan dan investasi internasional secara lebih luas, e.g NAFTA. Pengurangan gaji dan hak-hak karyawan. Menghilangkan kontrol harga
  • Cutting Public Expenditure For Social Services. Memotong biaya untuk fasilitas umum seperti perbaikan jalan, trotoar, dll. Katanya sih semua ini dilakukan untuk menghilangkan peran pemerintah dalam urusan ekonomi. Tapi mereka tidak menolak kebijakan pemerintah yang menguntungkan korporasi
  • Deregulation. Mengurangi aturan pemerintah yang bisa mengurangi profit
  • Privatization. Pengalihan goods and services seperti bank, jalan raya, sekolah, listrik bahkan air yang dimiliki pemerintah ke sektor privat. Semua dengan alasan efisiensi. Tapi pada kenyataannya malah terjadi adalah pemusatan kekayaan pada segelintir orang.
  • Eliminating the Concept of Public Good and Services. Menghilangkan konsep pelayanan dan komunitas sosial dan menggantinya dengan konsep “kalo mau berobat, kalo mau sekolah, kalo mau aman cari solusi sendiri! kalo gagal berarti lu males!”.
Kebahagiaan saat ini tidak lebih dari sekedar alat yang digunakan oleh para babi kapitalis untuk mengontrol masyarakat agar terus mengonsumsi produk dan mengeksploitasi kaum pekerja agar loyal dan rajin bekerja untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Banyak orang tidak sadari bahkan konsep kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini adalah hasil pemrograman pikiran lewat film, iklan, dll yang diendorse oleh korporasi untuk menghasilkan keuntungan. Misalnya pada tahun 1903 dan 1908, seorang professor pskologi, Walter Dill Scott, menerbitkan buku yang berjudul The Theory of Advertising dan The Psychology of Advertising. Dalam buku tersebut pada intinya Scott berargumen bahwa karena manusia sebagai konsumen bukanlah makhluk yang seratus persen rasional maka mereka dapat dipengaruhi. Iklan yang tadinya berfungsi sebagai alat penyalur informasi berubah menjadi alat persuasi. Menurut Scott terdapat tiga tahap teknik advertising yaitu : attention, comprehension dan understanding. Yang perlu diperhatikan adalah pada tahap comprehension. Pada tahap ini, iklan harus bisa menciptakan emosi positif terhadap produk yang ditawarkan. Teori ini didukung oleh penelitian Jaap Stout (2014) dan Ademola B. Owolabi (2009). Hasil kedua penelitian tersebut sama-sama menyatakan bahwa emosi positif (aka kebahagiaan) cenderung mampu membuat orang jadi ingin membeli produk yang diiklankan.



Tidak sampai disitu, kebahagiaan juga digunakan perusahaan untuk membuat karyawan terus loyal dan terus bekerja untuk menghasilkan profit untuk perusahaan. Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana tingkat kebahagiaan karyawan berdampak pada tingkat profit perusahaan. Misalnya menurut insyncsurveys.com, beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa perusahaan dengan karyawan yang sangat termotivasi, dapat menikmati penghasilan 26 persen lebih tinggi per karyawan. Itulah mengapa perusahaan memberikan fasilitas-fasilitas bagi karyawan seperti tempat gym, kolam renang, atau kayak di hotel tempat gw kerja dulu setahun sekali diadain jalan-jalan bareng karyawan hotel plus kegiatan team building. Semua itu hanyalah alat yang digunakan supaya elu tetap loyal dan tetap termotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk perusahaan. Tidak peduli apakah lu suka sama kerjaan lu, tidak peduli lu rekan kerja lu berengsek semua, ga peduli bos lu bangsat, ga peduli lu harus terpaksa senyum sama tamu yang makannya berantakan kayak binatang, yang penting your job is fun!


Kalo dalam konteks film Inside Out, kita harusnya jadi ngerti kenapa Joy ingin Sadness ga ikut campur dalam kendali emosi Riley. Hal ini menggambarkan bagaimana korporasi ga mau karyawannya sedih, karena karyawan yang sedih/tidak bahagia tidak bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Jelas jadinya kenapa korporasi selalu berusaha membuat kebahagiaan jadi emosi yang utama dalam diri kita. Yang menarik adalah artikel yang berjudul 'Does it pay for firms to invest in their worker’s wellbeing?' dari Voxeu.org yang intinya mengatakan bahwa perusahaan hanya mau berinvestasi untuk kebahagiaan karyawan selama hal tersebut membawa profit bagi perusahaan. Wakakakak thanks Voxeu, at least lu jujur.

Kenapa gw ngomongin ini semua? karena ada bahaya besar yang cukup mengancam dibalik budaya kebahagiaan yang ditanamkan oleh para babi kapitalis. Tanpa kita sadari, kita hidup diera surveillance. Babi-babi tersebut berusaha masuk ke sendi-sendi kehidupan privat masyarakat dengan tujuan untuk memonitor dan mencari tahu bagaimana menjaga agar orang-orang tetap memiliki emosi positif, tetap bahagia. Untuk tahu apa yang membuat mood kita selalu positif mereka kan butuh data. Bagaimana mereka bisa memperoleh data tersebut? dengan cara memantau setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah hal yang mengerikan karena setiap aspek kehidupan kita akan dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjadi alat yang membawa profit untuk mereka. Kita ga bakal tahu lagi apakah kulit putih itu lambang kecantikan ato itu adalah hasil pemrograman iklan produk pemutih kulit. Kita diprogram kayak robot buat jadi budak para babi tersebut.

Salah satu contoh yang cukup horor adalah pada tahun 2014 Facebook mempublikasikan paper akademik yang berisikan bagaimana sosial media tersebut berhasil memanipulasi mood penggunanya lewat manipulasi news feed tanpa konsen pengguna (link untuk mengunduh papernya akan gw cantumkan di daftar pustaka). Ditambah lagi dengan berita baru-baru ini tentang kebocoran data Facebook yang diperjual belikan untuk korporasi. Ini cocok banget nih buat jadi episodenya Black Mirror. Selain itu, tahun 2014 British Airways melakukan uji coba happiness blanket, yaitu selimut yang bisa memonitor keadaan emosi penumpang dengan melihat aktifitas neuron. Kalo penumpangnya rileks, selimutnya berubah warna jadi biru. Alat ini bukan cuma memonitor keadaan emosi saja, tapi juga mengumpulkan data mengenai apa yang membuat penumpang menjadi rileks dan bagaimana efeknya terhadap otak. Aplikasi-aplikasi yang ada di smartphone lu pada itu banyak yang punya fitur pengumpulan data. Apps buat diet misalnya mengumpulkan data tiap harinya tentang gaya hidup dan pola makan pengguna.


Apakah temen-temen sekarang sudah sadar ancaman yang sedang mengintai kehidupan kita. Hak-hak privat kita sedang dirampas oleh babi-babi tersebut dan gobloknya kita ngebiarin. Sekarang gimana caranya kita tahu kalo Facebook ga lagi memanipulasi emosi kita? gimana caranya kita tahu kalo data-data yang secara cuma-cuma lu berikan melalui aplikasi smartphone tidak sedang diperjual belikan ke perusahaan yang ingin tahu caranya memanipulasi lu pada supaya mengkonsumsi produk yang mereka jual? Sekarang bagaimana kita bisa yakin kalo kita tetap setia kerja sama perusahaan tertentu karena emang kita suka atau sudah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kita merasa ga enak buat keluar dari situ? Silahkan temen-temen jawab pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing.
Kalau gitu apakah kita harus menjadi manusia-manusia yang sendu, emo dan galau? Ya tentu saja engga. Beberapa poin penting yag mau gw sampein disini pertama, untuk mencapai emotional well being yang baik dan benar manusia butuh mengekspresikan semua emosi yang ada. Kita ga bisa berfungsi sebagai manusia yang sehat dengan mengandalkan satu emosi saja. Menurut paper yang dipublish di International Journal of Psychophysiology, terdapat beberapa efek negatif akibat emosi yang ditekan (emotion suppression). Misalnya menurut Dunn et al (dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014) emotion suppression dapat mengakibatkan memory impairment. Emotion suppression juga dapat menstimulasi respon fisiologis maladaptive. Selain itu emotion suppression juga memiliki efek sosial negatif seperti berkurangnya akes ke dukungan sosial, berkurangnya kepuasan sosial dan dapat melukai hubungan interpersonal (Amirkhan et al dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014). Bisa dilihat dalam film bagaimana Riley hampir menjadi depresi gara-gara terus-terusan menekan emosi kesedihan dan berusaha untuk tetap bahagia ditengah-tengah masalah yang dihadapi. Diakhir film kita melihat bagaimana akhirnya Riley bisa kembali menjadi manusia yang sehat secara emosional setelah membiarkan dirinya mengekspresikan kesedihan. Dari situ Riley memiliki pemaknaan baru mengenai hidup dan mampu menjalani kehidupannya dengan semangat yang baru.

Poin kedua yang ingin gw sampaikan adalah kita harus mulai berintrospeksi diri, mulai mempertanyakan realita yang ada di masyarakat. Apakah kebahagiaan yang selama ini gw kejar adalah sesuatu yang meaningful atau cuma kesia-siaan hasil penanaman ide oleh korporasi lewat iklan dan film? Apakah gw bahagia karena benar-benar merasa bahagia atau karena manipulasi sosia media? Apakah benar tujuan hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan? Friedrich Nietzsche pernah menulis : “Mankind does not strive for happiness, only the Englishman does that”. Silahkan interpretasi sendiri makna quotasinya. Mungkin kita harus mengejar tipe kebahagiaan yang berbeda. Yunani kuno memiliki konsep kebahagiaan yang disebut eudaimonia (eu = baik/good + daimon =jiwa/spirit). Eudaimonia berarti good spirit atau jiwa yang baik. Definisi yang disetujui banyak ahli adalah jiwa yang bertumbuh (flourish). Untuk mencapai eudaimonia kita perlu memiliki ‘arete’ yang berarti kebajikan (virtue). Menurut Aristoteles, hidup yang bahagia bukanlah hidup yang simply mengejar kesenangan duniawi semata tapi mengejar nilai kebajikan dan keadilan (virtue and justice).
Hal serupa tapi tak sama dikemukakan oleh filsuf Denmark Soren Kierkegaard dalam bukunya yang berjudul The Sickness Unto Death, mengatakan bahwa orang yang hidup hanya mengejar kebahagiaan duniawi tidaklah benar-benar bahagia melainkan sedang berada dalam fortvivlelse (despair/keadaan tanpa pengharapan). Bagi Kierkegaard satu-satunya cara untuk hidup bahagia dan keluar dari despair adalah dengan mengembalikan koneksi yang terputus dari Sang Pencipta alias iman kepada Tuhan. Formula kesembuhan dari despair menurut Kierkegaard :
In relating itself to itself and in willing to be itself, the self rests transparently in the power that established it

Ya begitu aja kira-kira pembahasan gw tentang film Inside Out. Bagaimana teman-teman punya pendapat berbeda? silahkan tulis pendapat teman-teman dikolom komentar. Mudah-mudahan tulisan gw ada gunanya bagi teman-teman yang membaca. Sampe ketemu ditulisan selanjutnya.




Referensi :
Davies, W. (2015). The Happiness Industry : How the Government and Big Bussiness Sold Us Well-Being. London: Verso Books
Lerner, J.S., Li, Y., Valdesolo, P. & Kassam, K. (2014). Emotion and Decision Making. Annual Review of Psychology.
Martinez, E. & Garcia, A. (1997). What is Neoliberalism di https://corpwatch.org/article/what-neoliberalism (akses 3 Mei 2018)
Owolabi, A.B. (2009). Effects of Consumers Mood on Advertising Effectiveness. Europe's Journal of Psychology. 4: 118-127
Peters, B.J., Overall, N.C. & Jamieson, J.P. (2014). Physiological and Cognitive Consequences of Suppressing and Expressing Emotion in Dyadic Interactions. International Journal of Psychophysiology. 94: 100-1007
Prinz, J. (2004). Which Emotions Are Basic. Emotion, Evolution and Rationality.
Scott, W.D. (1913). The Psychology of Advertising : A Simple Expositions of the Principles of Psychology In Their Relation to Successful Advertising. Boston : Small, Maynard and Company.
Stout, J. (2014). Overdosed on Happiness: Give Me One More Shot and I'll Buy Your Product. The Influence of Positive and Negative Emotions in Advertising [master thesis]. Enschede (NL): University of Twente
Stratton, A.K. (2012). The Role of Emotion in Rational Decision-Making [master thesis]. Adelaide (AUS): Adelaide University
Link untuk mengunduh paper studi Facebook : http://www.pnas.org/content/111/24/8788.full

Batman V Superman : Dawn of Martha


"...deep down, Clark is a good person. Deep down, i am not" -- (Batman about Superman in Hush, 2003)



Tau ga siapa sebenarnya the real villain di balik amburadulnya DCEU? WARNER BROS! fuck you Warner Bros! Kalo seandainya mereka ga rakus duit, ga terlalu sibuk ngejar ketinggalan dengan Marvel, gw yakin deh DCEU bisa jauh lebih bagus dari MCU. Karena karakter superhero DC comics buat gw pribadi jauh meaningful dan ikonik. Karakter superhero DC itu lebih dari sekedar superhero biasa tapi merupakan personifikasi dari human archetype yang ada pada alam ketidak sadaran manusia. Tapi pada akhirnya it's all about the money, money, money.

All ranting aside, tulisan gw kali ini mau ngebahas tentang Batman v Superman : Dawn of Justice. Emang agak telat sih gw mau ngebahas sekarang karena nih film keluar tahun 2016, tapi gak apa-apa lah ya. Film kedua dari DCEU ini menuai banyak kritik negatif. Situs rotten tomato aja cuma ngasih rating 27% dengan audience score 63%. Kayaknya cukup banyak orang yang benci nih film ya.

Apa sih yang menjadi kritik film ini? ada beberapa alasan. Pertama, penonton menganggap kalo film ini kepanjangan durasinya. Mungkin durasi film panjang ga bakal jadi masalah kalo alur ceritanya ga ngebosenin. Kedua, Zack Snyder terlihat kurang menghormati source material dalam visinya menciptakan karakter superhero di DCEU ini. Di mulai dari karakter Superman yang ngebunuh Zod di Man of Steel. Pada Batman v Superman, kita ngeliat Batman yang ga segan-segan ngebunuh lawannya. Padahal fans berat Batman (kayak gw) tau kalo Batman punya namanya no killing code, dimana Batman bersumpah ga bakal mencabut nyawa manusia sejahat apapun manusia itu. Ketiga, the infamous Martha scene. Yup we had to go there, didn't we? (oh man it's going to hurt). Ini scene yang ngebuat internet jadi kesetanan. Semuanya pada bilang kalo ini the most ridiculous scene in movie history. Sampe banyak dibuat meme di 9gag, wkwkwk. Kalo temen-temen lupa, singkatnya Martha scene adalah scene dimana Batman udah hampir mau melenyapkan Superman dari muka bumi tapi ga jadi gara-gara si Superman bilang ke Batman : "Save Martha...", yang akhirnya Batman dikasih tau oleh Lois Lane kalo Martha itu adalah nyokapnya si Superman. Yup what a plot twist! Lain kali kalo ada yang mau ngebunuh lu, lu cari tau dulu namanya nyokapnya terus bilang ke dia nama nyokap kita sama wkwkwkw. Masih banyak lagi kritik yang diberikan buat nih film tapi gw ga bakal bahas lebih lanjut karena kepanjangan.

Ini scene dari prequelnya, Batman v Superman : Dawn of kindergarten

Dalam tulisan gw kali ini gw mau fokus sama kritik kedua dan ketiga, yaitu murderous Batman dan Martha scene. Gw jadi inget pas pertama kali gw nonton nih film gw kecewa berat. Kenapa Batman yang ini ga punya no killing code? sangat berbeda dengan Batman yang selama ini gw tahu dan sayangi. Tapi setelah menonton beberapa pembahasan tentang nih film di youtube gw jadi ngeliat kalo film ini sebenarnya jenius dan punya makna tersembunyi. Menurut gw ini film terbagus di DCEU setelah Wonder Woman (wah tuh film sih masterpiece banget!). Mari kita bahas lebih dalam.

Batman "maennya" kasar juga ya..


Untuk bisa mengerti film ini, kita harus bisa menyadari terlebih dahulu karakter Batman seperti apa yang disuguhkan oleh Zack Snyder. Berbeda dari inkarnasi Batman di layar kaca sebelumnya, karakter Batman yang ditawarkan oleh Zack Snyder adalah karakter Batman yang lebih tua, lebih dingin, lebih sinis dan lebih brutal. Hal ini bisa dilihat dari perilaku Batman yang ga segan-segan menggunakan senjata api dan criminal branding. Kriminal yang sudah dibrand oleh Batman pasti bakal dibunuh di penjara oleh napi lain.

Batman yang ada di DCEU adalah Batman yang sudah menyaksikan kejahatan yang sangat besar dalam hidupnya. Versi Batman yang ini terinspirasi dari karakter Batman di komik The Dark Knight Returns. Dikomik itu juga versi Batman yang ditampilkan sama persis sama Batmannya abang Ben. Nah, apa yang membuat Batman seperti itu? kalo merujuk pada petunjuk yang ada di film, Batman menjadi lebih garang karena kematian Robin.



Bisa temen-temen liat kalo jubah yang sedang dilihat sama Bruce Wayne adalah jubanya Robin. Zack Snyder tampaknya juga mengambil inspirasi dari komik Death of the Family, yang mana di komik tersebut memang Robin mati dibunuh oleh Joker. Robin yang mati di komik itu namanya Jason Todd (sejauh ini ada 4 orang yang udah jadi Robin, pertama Dick Grayson, Jason Todd, Tim Drake dan Damian Wayne). Dalam komik Death of the Family tersebut diceritakan bagaimana Bruce Wayne sangat terpukul atas kematian Jason Todd. Karena kalo temen-temen tahu, kematian Jason Todd adalah salah satu kematian yang cukup jahat dalam sejarah komik. Intinya, Jason Todd mati dipukul pake crowbar sama Joker kemudian ditinggal di dalem gedung yang kemudian diledakin. Temen-temen harus paham bahwa Bruce Wayne adalah individu yang sangat sentimental. Bruce Wayne menganggap semua Robin yang dia latih sebagai anaknya sendiri. Bruce merasa memiliki koneksi yang sangat dekat dengan semua Robin yang ia latih karena mereka semua memiliki kondisi yang sama yaitu sebagai yatim piatu. Hell , bahkan bisa kita bilang kalo alasan Batman put on the cape and cowl adalah karena peristiwa traumatis di masa kecilnya!

Selain itu, Batman DCEU adalah Batman yang sedikit nihilist. Nihilism adalah pandangan filsafat yang menganggap bahwa kehidupan tidak memiliki makna atau tujuan yang inheren. Hal ini bisa terlihat dari scene pas Batman nyeret Superman dari tanah dan bilang begini :
Batman : "I bet your parents taught you that you mean something. That you're here for a reason. My parents taught a different lesson. Dying in a gutter for no reason at all".
Tapi apakah kematian Robin sendiri cukup untuk ngebuat Batman menjadi lebih kejam? Hmm...ini menarik. Kalo temen-temen inget ada scene dimana Bruce ngomong ke Alfred kayak gini:
Bruce : "Twenty years in Gotham, Alfred. We've seen what promises are worth. How many good guys are left? how many stayed that way"

How many good guys are left? how many stayed that way? (berapa banyak orang baik yang tersisa? berapa banyak yang tetap baik?). Ini dialog yang menarik karena ada teori yang bilang kalo Robin sebenarnya engga mati tapi berubah jadi Joker. Yup Joker yang sama yang diperankan oleh Jared Leto. Entah bagaimana, Joker yang asli berhasil mencuci otak Robin sehingga Robin bertransformasi jadi Joker. Tapi gw ga mau ngebahas teori itu ditulisan ini. Mungkin ditulisan selanjutnya bakal gw bahas lebih dalam. Tapi apapun penyebabnya intinya kita setuju dulu bahwa karakter Batman yang ditawarkan oleh Zack Snyder merupakan Batman yang sudah jauh berpengalaman sebagai vigilante dan sudah mengalami suatu kejadian yang cukup traumatis sehingga membuat sifatnya menjadi berdarah dingin.

Kalo gitu, gimana kaitannya sifat Batman yang kejam dengan the infamous Martha scene? Ada satu dialog menarik dari Bruce tentang Superman :
Bruce : "..if he has the power to wipe out the entire human race and if we believe there's even one percent chance that he is our enemy we have to take it as absolute certainty"
Kalo temen-temen sadari, film-filmnya Zack Snyder selalu memiliki tema mengenai dinamika antara manusia dengan sosok yang dianggap tuhan/dewa (e.g. 300, Watchmen). Dalam Batman V Superman, sosok tuhan dimanifestasikan dalam diri Superman. Superman adalah alien dari planet Krypton yang memiliki super segalanya (kekuatan super, kecepatan super, penglihatan super, pendengaran super, etc). Ya bener-bener hampir godlike lah. Karena kekuatan yang dimiliki oleh Superman hampir setara dengan tuhan/dewa, maka artinya Superman kebal hukuman (above the law). Batman pernah bilang di film tersebut kalo Superman adalah makhluk yang kalo dia mau bisa ngancurin seluruh umat manusia dalam hitungan detik dan tidak ada satu hal pun yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya. Pandangan ini dikenal dengan istilah Existential Risk.

Dalam Journal of Evolution and Technology, Vol.9 (2002) berjudul Existential Risks: Analyzing Human Extinction Scenarios and Related Hazards, Nick Bostrom dari fakultas filsafat di universitas Oxford menjelaskan bahwa terdapat enam macam risks atau resiko yang bisa mengancam manusia yaitu personal endurable risk, personal terminal risk, local endurable risk, local terminal risk, global endurable risk dan global terminal risk. Personal, local dan global merujuk pada seberapa banyak individu yang dapat merasakan dampak resiko, sedangkan terminal dan endurable merujuk pada intensitas suatu resiko. Dalam jurnal tersebut, Nick Bostrom mendefinisikan global terminal risk atau juga disebut existential risk sebagai tipe resiko (risk) yang memiliki hasil akhir musnahnya makhluk intelijen (manusia) di muka bumi atau yang dapat menghambat potensi hidup manusia secara drastis dan permanen. Existential risk calculus filsafat politik yang dibuat sebagai respon terhadap dikembangkannya teknologi senjata berbasis nuklir.
Terdapat empat macam existential risk yaitu :
  1. Bangs. Kondisi dimana semua makhluk hidup di muka bumi punah sebagai akibat dari suatu bencana yang disebabkan secara sengaja maupun tidak sengaja.
  2. Crunches. Kondisi dimana walaupun mungkin sedikit manusia bisa selamat dari suatu bencana namun kemungkinan untuk menjalani atau menata kembali kehidupan post-disaster sama sekali tidak ada.
  3. Shrieks. Kondisi dimana umat manusia masih memiliki kemungkinan untuk bisa membuat kehidupan baru post disaster namun tidak banyak yang bisa dilakukan karena sumber daya alam sudah hampir punah.
  4. Whimpers. Kemungkinan umat manusia kembali membentuk society post disaster namun yang akan sangat berbeda dari kehidupan sebelumnya yang mungkin lebih buruk (kayak film Mad Max fury road mungkin).
Existential risk adalah sesuatu yang harus dianggap serius karena berbeda dengan kelima tipe resiko yang lain, kita engga bisa melakukan trial and error untuk melihat solusi apa yang cocok untuk mengatasinya. Kita harus bisa mencegah sebelum terjadi karena kalo engga ya kita semua keburu modyar. Dalam jurnal tersebut Bostrom mengatakan bahwa walaupun kemungkinan terjadinya existential risk adalah kurang dari 1 persen, kita tetap harus melakukan apapun yang diperlukan untuk menghindari resiko tersebut.

" A preemptive strike on a sovereign nation is not a move to be taken lightly, but in the extreme case we have outlined - where a failure to act would with high probability lead to existential catastrophe - it is a responsibility that must not abrogated. Whatever moral prohibition there normally is against violating national sovereignty is overridden in this case by the necessity to prevent the destruction of humankind "

Konteks quoatasi di atas adalah Bostrom berbicara mengenai teknologi canggih yang memiliki potensi untuk menyebabkan existential risk. Umpamakan ada suatu undang-undang yang dibuat untuk meregulasi teknologi tersebut dan semua negara diwajibkan untuk menandatangani dan patuh terhadap undang-undang tersebut. Menurut Bostrom, jika ada satu saja negara yang tidak mau ikut serta, maka menurut Bostrom mengambil langkah apapun untuk mencegah negara tersebut menyalahgunakan teknologi canggih yang ada dapat dibenarkan, malah mungkin harus dilakukan. Disini Bostrom menggunakan istilah preemptive strike, artinya kita harus nyerang negara itu duluan. Menginvasi kalo perlu. Kenapa dibenarkan? karena resikonya adalah kepunahan umat manusia. Walaupun kemungkinan terjadinya cuma 1 persen loh!

Bagaimana dengan Superman? Wah nih orang apalagi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Superman adalah makhluk kebal hukum. Superman adalah sosok personifikasi dewa maha segala-galanya. Siapa coba yang bisa menghukum Superman?. Makanya di film tersebut, kongres Amerika pusing mikirin gimana caranya meregulasi absolute power yang dimiliki oleh satu individu. Dengan kata lain ya sebenarnya mereka takut. Pemimpin dunia takut, warga sipil takut, dan Batman takut.

Kalau menurut gw, takutnya Batman dan inisiatif dia untuk mengambil langkah pencegahan terhadap potensi punahnya umat manusia itu udah bener. Selain Batman adalah individu yang super jenius (siapa bilang Batman ga punya super power?), di atas udah dibahas tentang existential risk dimana kita harus mengambil langkah apapun untuk mencegah punahnya kehidupan di bumi. Nah yang jadi masalah disini adalah cara Batman dalam mengatasi resiko tersebut. Dalam komik Tower of Babel, walaupun Batman udah lama menjadi anggota Justice League, dia tidak naif. Batman tetap menganggap bahwa masing-masing anggota Justice League merupakan bom waktu berjalan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Oleh karena itu, Batman mendesain suatu rencana kontingensi untuk menetralisir masing-masing anggota JL. Oke tolong perhatikan kata menetralisir yah. Batman di komik tersebut ga pernah berpikir untuk membunuh anggota JL, tapi cuma menetralisir, maksudnya membuat mereka ga bisa melawan.

Nah, kalo Bat-fleck (sebutan untuk Batman Ben Affleck) beda. Karena dipengaruhi oleh apapun trauma yang membuat dia menjadi lebih sinis dan brutal, ditambah dengan adanya sosok dewa yang memiliki potensi untuk memusnahkan kehidupan, maka menurut dia cara yang efektif dan moral untuk mencegah hal tersebut adalah dengan membunuh Superman. Seperti yang udah gw bilang, existential risk calculus dibuat sebagai respon terhadap senjata nuklir. See what i mean? dalam hal ini Bat-fleck tidak menaggap Superman sebagai individu yang memiliki kesadaran, kebebasan maupun emosi tapi sebagai tidak lebih dari senjata nuklir berjalan. Dengan kata lain, Bat-fleck melihat Superman sebagai senjata yang berisiko dan harus dimusnahkan walaupun kemungkinan Superman bisa menyebabkan kepunahan manusia cuma 1 persen.

Oke sekarang kita pindah ke Martha scene. Setelah Bat-fleck dengan uangnya yang banyak berhasil melumpukan Superman (afterall, Superman takut sama benda yang berwarna ijo wkwkwk..), Batman udah siap dengan kryptonite spearnya untuk mencabut nyawa Superman. Mari kita lihat dialog yang terjadi
Superman : "You're letting him kill Martha"
Batman : "What does that mean? why did u say that name?" (kebingungan)
Superman : "Find him, save Marthaaaaaaaaaaa"
(Flashback)                            
Batman : (Dengan nada marah) "why did u say that name!!"
Lois Lane : "It's his mother's name"

Setelah kita memahami motif yang mendasari perilaku Batman, maka Martha scene sudah menjadi jelas. Seperti yang sudah gw bilang di awal, Batman tidak melihat Superman sebagai individu melainkan sebagai bom nuklir berjalan yang sewaktu-waktu dapat meledak dan tidak ada satu hal pun yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya. Tapi perhatikan, tetap pada momen dimana Batman hendak mencabut nyawa Superman, Superman menyebut nama yang tidak asing ditelinga Batman. Martha. Nama ibu Bruce Wayne dan Clark Kent. Menurut penonton hal ini terlihat aneh. Mosok cuma nyebut nama nyokap bisa tiba-tiba langsung temenan. Tapi coba perhatikan, saat Superman menyebut nama Martha apa respon pertama Batman? Batman nanya dengan nada marah "apa maksudnya lo nyebut-nyebut nama nyokap gw!". Bahkan ada flashback tentang malam dimana orangtua Bruce Wayne dibunuh. Saat itu, Batman menganggap kalo Superman sedang mempermainkan dirinya, mencari celah kelemahan untuk dimanfaatkan. Tapi disaat Lois Lane bilang kalo Martha adalah nama ibunya Superman, nah disaat itu Batman seakan tersadar kalau Superman bukanlah senjata pemusnah masal melainkan sama seperti dirinya, manusia. Batman tidak menduga bahwa alien dari planet lain punya ibu seorang manusia dan sangat mencintai ibunya. Dari mana Batman tahu kalo Superman sayang ibunya? Dari fakta bahwa Superman meminta Batman, orang yang hendak membunuh dirinya, untuk menyelamatkan nyokapnya! Coba bayangkan berada diposisinya Superman. Lu minta orang yang akan membunuh lu untuk menyelamatkan ibu lu. ABSURD TINGKAT DEWA! Ya tapi itulah Superman, dia lebih sayang ibu nya dibanding diri nya sendiri. Yang penting ibu nya selamat, apapun yang terjadi sama diri nya ya terjadilah. Nah temen-temen, disinilah saat Batman tersadar bahwa makhluk super kuat yang lebih menyayangi ibu nya dibanding diri nya sendiri ga mungkin bisa jadi senjata pemusnah masal. Ini momen yang penting dimana Batman menyadari dirinya salah tentang Superman. Batman tersadar bahwa Superman ternyata lebih manusia dibanding dirinya.

Lebih dari itu, saat Superman menyebut nama Martha, Batman mengalami flashback tentang kematian orangtua nya. Dia teringat dirinya saat masih kecil yang powerless, helpless dan tidak mampu melakukan apa-apa untuk menyelamatkan orangtua nya. Saat melihat Superman yang sudah tidak bisa melawan, Batman teringat akan dirinya yang pernah di posisi yang sama, lemah dan tak berdaya. Pada posisi ini, Batman seakan tersadar bahwa dirinya mendapat kesempatan kedua dari alam semesta. Ia mungkin ga bisa menyelamatkan orangtua nya, tapi kali ini dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa ibu nya Superman. Perasaan tidak berdaya adalah perasaan yang ia rasakan saat memutuskan untuk mengakhiri nyawa Superman, dan ironisnya perasaan ini juga lah yang ia rasakan saat memutuskan untuk menyelamatkan nyawa Superman dan ibu nya.

Jadi kesimpulan yang bisa gw tarik adalah sebenarnya sih film Batman v Superman bukan tentang Batman berantem sama Superman, tapi tentang Batman's redemption. Batman yang sinis, hopeless, kejam dan brutal seakan menemukan kembali jalan yang lurus. Hal ini bisa dilihat dari perilakunya yang tadinya mem-branding kriminal sudah engga dia lakukan lagi. Batman sedikit demi sedikit kembali ke prinsip awalnya untuk tidak mencabut nyawa manusia. Batman akhirnya memiliki character development menjadi lebih baik di akhir film, dan inilah yang membua gw tadinya kecewa sama nih film jadi sadar kalo nih film sebenarnya bagus.

Tapi terlepas dari itu semua, gw ga bilang kalo film ini sempurna. Harus diakui juga kalo plot cerita yang kurang terstruktur agak membuat film ini menjadi minus. Zack Snyder juga kurang mampu untuk meng-evoke emosi terhadap karakter-karakternya. Siapa coba yang sedih pas Superman mati dibunuh Doomsday? Ga ada! Karena kita tahu kalo bakal ada film Justice League dan Superman ga mungkin ga muncul di Justice League wkwkwk. Tapi ini menurut gw bukan salah Zack Snyder sepenuhnya. Udah gw bilang the real villain is Warner Boros, terlalu memaksakan untuk ngejar Marvel. Harusnya sih ya satu per satu karakter diperkenalkan dulu supaya audiens punya ikatan emosi sama masing-masing karakter. Menurut gw Patty Jenkins sudah berhasil melakukan ini dengan Wonder Woman.

Well, terlepas dari segala kekurangannya, gw harap tulisan gw bisa sedikit memberi perspektif baru bagi temen-temen dalam melihat film ini dan sukur-sukur kalo bisa menyelamatkan film ini dari rating yang anjlok. Apapun itu, menurut gw film ini tetep film yang bagus, layak di tonton dan buat gw tetep salah satu film terbagus di DCEU. Walaupun start yang dimulai kurang bagus (i am talking to you Suicide Squad!), tapi gw sangat optimis dengan masa depan DCEU. DCEU memiliki segudang karakter dan cerita yang ikonik dan dalam yang sangat layak untuk diangakat ke layar lebar.

Referensi :

Bostrom, N. 2002. Existential Risks: Analyzing Human Extinction Scenarios and Related Hazards. Oxford : Journal of Evaluation and Technology. Vol. 9.






Assassins Creed : Kekeliruan Kredo Assassin

Baru aja beberapa bulan lalu namatin Assassins Creed Origins, eh Assassins Creed Oddysey udah keluar aje.Emang begitu nasib maen bajak...