Monday, September 17, 2018

Assassins Creed : Kekeliruan Kredo Assassin


Baru aja beberapa bulan lalu namatin Assassins Creed Origins, eh Assassins Creed Oddysey udah keluar aje.Emang begitu nasib maen bajakan, mesti nunggu crack-annya keluar yang kadang-kadang bisa hampir setahun baru nongol. Ya gapapa yang penting maen gratisan. Gw hype banget sama AC Oddysey karena setting sejarah yang bakal dipake adalah jaman Yunani kuno. Lebih tepatnya di jaman perang Pelopponesian, perang antara Sparta dan Athena. Yang paling gw ga sabar adalah disitu kita bakal ketemu sama bapake filsafat modern, Sokrates. Disamping itu, AC Oddysey sepertinya akan mengalami perubahan haluan. AC Oddysey tidak lagi terlalu terpatok untuk menampilkan sejarah akurat melainkan akan berfokus pada elemen mitologis  seperti The First Civilization, makhluk-makhluk mitologis (medusa, chimera, etc). Aduh gw hype banget! Oleh karena itu kali ini gw memutuskan untuk membahas salah satu masterpiece video game franchise yang pernah ada, Assassins Creed.

Assassins Creed bisa dibilang adalah magnum opusnya Ubisoft. Seri yang diciptakan oleh Patrice Desilets dan Jade Raymond ditahun 2007 ini memiliki keunikan khusus dibanding game-game lain. Dengan menggunakan teknologi yang bernama Animus, kita diajak melihat hasil rekonstruksi sejarah dalam bentuk pixel. Mulai dari jaman Mesir kuno jaman Ptolemy


Italia pada jaman Rennaisance


Perancis pada jaman revolusi Perancis 


sampe Victorian London pada jaman revolusi Industri. 


Tahun ini di Assassins Creed Oddysey kita akan diajak jalan-jalan mengelilingi tempat-tempat pada jaman Yunani kuno seperti pulau Kephallonia, Semenanjung Attika, pulau Arid, Peloponnesia, etc. Maklum yang bikin pada doyan sejarah semua.

Bagi yang belum familiar, Assassins Creed bercerita tentang konflik turun-temurun antara Assassins Brotherhood dengan Templar Order. Intinya Assassins berjuang mepertahankan kebebasan (free will) sedangkan Templar memiliki tujuan untuk mengontrol dan memperbudak manusia. Masing-masing kubu berusaha untuk mencapai tujuan mereka dengan mencari Pieces of Eden, sekumpulan teknologi kuno yang super canggih dari The First Civilisation. Beberapa Pieces Of Eden diantaranya ada :


Apple of Eden


Stave of Eden
Sword of Eden
Shroud of Eden

Yang membuat gw sangat ‘nempel’ sama seri AC adalah karena game ini sangat filosofis. Seperti yang sudah gw sebutkan, para Assassins dan Templar di jaman modern sedang berlomba mencari teknologi canggih warisan The First Civilization. Bagaimana caranya? dengan menggunakan Dengan teknologi yang bernama Animus.


Dengan teknologi ini manusia mampu mengakses memori nenek moyang mereka yang tertanam di dalam DNA mereka dan mengijinkan penggunanya untuk mengalami langsung peristiwa dalam memori tersebut. Konsep ini diinsipirasi oleh konsep collective unconsciousness milik Carl Gustav Jung.


Carl Gustav Jung (1875-1961), seorang neoanalyst dari Jerman, menemukan bahwa di dalam alam ketidaksadaran tidak hanya terdapat memori dan insting individual melainkan juga terdapat insting dan memori yang sudah terakumulasi dari jaman nenek moyang kita. Jadi di dalam diri manusia tidak hanya memiliki memori personal tetapi juga memori nenek moyang mereka. Hal ini ia sebut sebagai ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness). Collective unconsciousness bermanifestasi dalam bentuk simbol-simbol universal dan primordial images yang muncul dalam setiap kebudayaan manusia di seluruh dunia, baik dalam agama maupun dalam mitos. Misalnya ada tema besar yang sama terdapat dalam tragedi Shakespeare ‘Oedipus Rex’ dan mitos Sangkuriang. Jung menyebut simbol-simbol tersebut dengan nama archetype. Menurut Jung, di dalam ketidaksadaran laki-laki dan perempuan terdapat karakteristik dari lawan jenis mereka. Maksudnya, di dalam diri laki-laki terdapat fitur-fitur dan karakteristik perempuan dan di dalam diri perempuan terdapat karakteristik dan fitur laki-laki. Karakteristik perempuan di dalam diri laki-laki disebut dengan archetype anima, sedangkan karakteristik laki-laki di dalam diri perempuan disebut animus. Ya benar! nama alat untuk mengakses memori nenek moyang di seri AC diambil dari nama Jungian archetype. Beberapa archetype lain dalam psikoanalisa Jung antaranya adalah archetype persona, shadow, the wise old man, the great mother, hero, the trickster dan the self.

Tapi dalam tulisan ini gw engga akan membahas archetype tapi gw mau mengalihkan pandangan kita ke filosofi AC yang terkenal. Fans AC pasti familiar banget sama kredonya Assassin : "Nothing is true, everything is permitted". Hal yang sangat disayangkan adalah franchise ini kebingungan dalam menafsirkan filosofi ini. Dalam game kita liat tiap-tiap assassin memiliki pengertian yang berbeda-beda terhadap kredo ini. Penafsiran Altair berbeda dengan Ezio, berbeda pula dengan Arno. 



Dalam game tidak terlihat motto tersebut berkembang menjadi sesuatu yang berarti. Pada akhirnya filosofi ini cuma menjadi lip service untuk memajukan plot.

Mungkin kalo kredonya ini masih masuk diakal.
Setelah gw research lebih dalam, gw menemukan bahwa hal ini tidak mengagetkan karena dari awal, franchise ini telah keliru dalam menafsirkan kredo "Nothing is true, everything is permitted". Kenapa bisa gw bilang keliru? jadi begini ceritanya. Alkisah ide awal Assassins Creed diinspirasi dari novel karangan Vladimir Bartol berjudul Alamut. Oke sebelum gw nulis lebih jauh, gw sangat sangat sangat sangat merekomendasi temen-temen untuk baca novel ini!!! (tuh sampe gw kasih tanda seru tiga). Selain memiliki karakter-karakter yang menarik, novel ini juga sangat deeply philosophical dan percayalah temen-temen akan mendapatkan pencerahan yang sangat luar biasa.


Oke kembali ke laptop. Jadi Novel Alamut bercerita tentang seorang pemimpin tertinggi sekte Isma'ilsm bernama Hasan Ibn Sabah yang tinggal di sebuah benteng super megah bernama Alamut.

Alamut, rusun bintang 5.


Hasan Ibn Sabbah.
Setting novel Alamut terjadi pada abad ke-11 saat kerajaan Seljuk dari Turki menginvasi Iran. Sebagai orang Iran yang patriotis, Hasan menghabiskan masa mudanya untuk merencanakan bagaimana bisa mengusir Turki dari Iran dan memperoleh kemerdekaan. Hasan adalah orang yang jenius dan tercerahkan. Ia sadar ia butuh tentara yang bukan hanya bisa dimanipulasi dan tidak takut mati, tapi malah mencari kematian dan menganggap kematian adalah hadiah terindah. Bagaimana caranya? Ia menggunakan ganja dan kepercayaan agama untuk memanipulasi pengikutnya. Ia menghabiskan masa mudanya untuk membangun mitos bahwa dirinya adalah nabi terakhir utusan tuhan dan telah diberi oleh tuhan kunci pintu surga. Usaha manipulasi ini ga tanggung-tanggung, Hasan bahkan sampai bikin replika taman surga di Alamut untuk lebih menjerumuskan pengikutnya supaya mereka bisa percaya tanpa keraguan bahwa ia adalah nabi tuhan dan memiliki kunci surga. Replika taman surga dibikin percis dengan deskripsi dari kitab Alquran dengan makanan, anggur dan tidak lupa bidadari-bidadarinya. Surga tanpa bidadari kaya sayur kurang gula gitu. Padahal bidadarinya ga lebih dari budak-budak perempuan yang dia beli di pasar dan udah dia latih bertahun-tahun untuk memerankan peran bidadari surga (pasar modern BSD jual ga ya bidadari surga?). Sebelum tentara-tentara bloonnya ditunjukin surga, Hasan selalu memberi mereka ganja untuk meng-alter kesadaran mereka supaya pengalaman yang mereka rasakan di "syuurga" bisa dibawa terus diluar. Dan bener aja! Tentara-tentara yang udah ngerasain "syurga" langsung jadi, bisa dikatakan, gila pas kembali ke dunia nyata. Mereka semua terobsesi berat dengan pengalaman mereka. Gw inget banget yang namanya Suleiman sampe mau merkosa rekan tentaranya gara-gara saking udah ga tahannya padahal rekannya itu laki-laki! Disturbing as shit!

Apa sih yang memotivasi Hasan untuk melakukan rencana yang sangat elaborasi itu? Pada masa mudanya, Hasan adalah orang yang taat beribadah dan seorang intelektual. Ia juga adalah orang yang haus akan pengetahuan dan kebenaran. Jadi dia menghabiskan masa mudanya untuk mempelajari Islam dan doktrin Ismaili. Namun, selama masa pencariannya tersebut ia menyadari bahwa tidak ada yang mampu memuaskan dahaganya akan kebenaran. Semua orang memiliki kepercayaan masing-masing dan memegang teguh kepercayaan mereka. Satu filsuf membangun argumen, kemudian diruntuhkan oleh filsuf lain. Tidak pernah terjadi kesepakatan. Ia menyadari bahwa sepertinya yang namanya kebenaran sejati tidak akan pernah didapatkan oleh manusia. Ini adalah pandangan filsafat yang benama Absurdism. Dalam buku the Myth of Sisyphus, Albert Camus mengatakan bahwa seberapa hebatnya manusia mencari makna hidup, namun hal itu tidak akan pernah dicapai manusia. Salah satu alasannya adalah karena panca indera manusia yang extremely unreliable, tidak dapat diandalkan. Setiap hari kita ditipu sama panca indera kita sendiri. Ilmu pengetahuan (science) hanya dapat mendeskripsikan eksistensi tapi tidak bisa menjelaskan alasan mengapa harus ada eksistensi.

Lalu apa selanjutnya setelah menyadari bahwa kebenaran sejati tidak akan pernah mampu dicapai manusia? Hasan berkata :

"If a person realized that everything people call happiness, love and joy was just a miscalculation based on a false premise, he'd feel a horrible emptiness inside. The only thing that could rouse him from his paralysis would be to gamble with his own fate and the fate of others. The person capable of that would be permitted anything".

Menurut Hasan agama pada hakikatnya adalah alat manipulasi masa yang paling canggih. Nabi seperti Musa, Yesus, dll menyadari kelemahan manusia dan merasa kasihan sehingga mereka harus menciptakan konsep-konsep seperti surga dan anugrah ilahi untuk memberi manusia ketenangan. Meaninglesness atau tidak bermaknaan eksistensi membuat Hasan jatuh kedalam moral nihilsm. Ia mengambil kesimpulan bahwa kalo segala sesuatu yang selama ini ia percaya sebagai kebenaran adalah kebohongan, maka satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya dari existential despair adalah kebebasan untuk melakukan apa saja, termasuk memanipulasi orang lain untuk berperang dan mati untuk dirinya. Dari pencerahan inilah Hasan menciptakan mottonya yaitu : "If nothing is true, then everything is permitted".

Jadi nangkep ya sampe sini? Motto "Nothing is true, everything is permitted" digunakan Hasan Ibn Sabah untuk memanipulasi dan mengontrol orang lain untuk mencapai tujuan pribadinya. Bisa tebak siapa yang juga memiliki pikiran yang sama? Ya benar, Templar!. Dalam game, Assassins Brotherhood yang memiliki motto ini, mereka berjuang untuk kemerdekaan dan free will, sedangkan Templar ingin mencapai keteraturan dan kedamaian (peace and order) dengan cara kontrol dan manipulasi. So kredo "Nothing is true, everything is permitted" harusnya kredonya Templar bukan Assassins. Kalo Hasan menggunakan agama sebagai alat, Templar memakai posisi dalam politik dan korporasi. 


Dalam novel tersebut, Hasan digambarkan sebagai tokoh jahat (villain) dan figur tragis (tragic figure). Karena mottonya tersebut ia harus kehilangan orang-orang yang dicintainya dan bahkan ditakuti oleh pengikut-pengikutnya. Inilah yang membuat kredo ini ga masuk akal dalam konteks franchise AC. Assassins Brotherhood kan digambarkan sebagai "hero" dalam franchise AC tapi kenapa prinsip yang mereka pegang diinspirasi dari tokoh jahat yang prinsipnya sama sekali bertentangan sama prinsip Assassins Brotherhood? Situ pusing? sama gw juga pusing.

Kalo gitu kenapa kita asik-asik aja maen Assassins Creed tapi benci sama filmnya. Jawaban terbaik yang bisa gw kasih adalah karena perbedaan agency dari video game dan film. Dalam video game, elemen terpenting adalah gameplay. Game kayak Counter Strike, PUBG, dll asik-asik aja dimainin walaupun ga ada jalan cerita sama sekali. Beda ceritanya salam film. Elemen terpenting film adalah jalan cerita. Jalan cerita dibangun dari unsur-unsur seperti character development dan konflik. Dalam film Assassins Creed tidak terlihat motif yang jelas kenapa Assassins harus berantem sama Templar. Kenapa kita harus menganggap Assassins adalah tokoh baik sedangkan Templar adalah tokoh jahat. Motto "Nothing is true, everything is permitted" sama sekali tidak membantu untuk menjawab hal ini dalam film.

Atau mungkin Ubisoft ingin secara implicit mengatakan bahwa Assassins tidak jauh beda dengan Templar? Bisa aja. Di ending Assassins Creed pertama, terungkap bahwa Al-Mualim, pemimpin tertinggi Assassins Brotherhood di Masyaf, hanya memanfaatkan Altair dan kredo Assassins untuk memperoleh Apple of Eden. Di Assassins Creed Rogue, kita melihat bagaimana para Assassin rela mengorbankan nyawa rakyat sipil dalam jumlah cukup besar demi mendapatkan salah satu artifak Pieces of Eden. Hal ini memotivasi Shay Patrick Cormack untuk mengkhianati Assassins dan bergabung dengan Templar. Seakan-akan Templar dan Assassins adalah dua boneka yang dikendalikan oleh satu orang. Dua organisasi ini tanpa sadar memegang kredo yang sama : "If nothing is true, then everything is permitted". 

Bagaimana menurut temen-temen? punya pendapat lain. Silahkan temen-temen bagikan pendapat temen-temen dikolom komentar dan sekali lagi please banget baca novel Alamut karangan Vladimir Bartol, gw jamin temen-temen ga bakal nyesel. Terimakasih buat temen-temen yang udah meluangkan waktu buat baca tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Tuesday, August 28, 2018

Wonder Woman : Apakah Manusia Pantas diselamatkan?

"It's not about deserve, it's about what you believe. And i believe in love" -- Diana of Themyscira

Untuk mempersiapkan hype Aquaman dan Shazam dan pastinya Wonder Woman 2, gw memutuskan untuk nulis tentang Wonder Woman. Kayaknya ga perlu diragukan lagi, Wonder Woman telah sukses menjadi ikon kultural tahun 2017. Karena kesuksesannya tersebut, sutradara Patty Jenkins memutuskan untuk membuat sekuelnya yaitu Wonder Woman 1984 yang akan tayang ntar tahun 2019.

Menurut gw sendiri, Wonder Woman pantes mendapatkan kesuksesan karena film ini merupakan sebuah revolusi. Selain punya theme song super kece (coba sebutin theme song superhero lain yang se-memorable Wonder Woman) ciptaan Hans Zimmer dan Junkie XL, diperankan oleh Gal Gadot (aktris peringkat empat dengan bayaran paling mahal di Holywood saat ini), film ini juga berhasil mengangkat image superhero wanita yang dimana genre superhero didominasi oleh laki-laki. Akhirnya selama bertahun-tahun kita bisa punya image seorang pahlawan wanita yang sangat memorable.

Selain itu, film ini merupakan angin segar bagi DC Extended Universe. Ya kita tahu sendiri lah ya gimana nasib yang menimpa film DCEU yang lain dengan rating dan review, kayaknya ga perlu gw deh ya, bikin sakit hati hikz..hikzz. Namun, Wonder Woman berhasil menuai ulasan yang lebih banyak positif dibanding negatif. Bahkan situs rotten tomato saja sampai memberikan rating film ini 92% tomatometer dengan 88% audience score. Padahal kalo temen-temen tahu, rotten tomato tuh pelit banget kalo ngasih rating. Ini adalah film DCEU pertama yang bisa dapet rating setinggi itu di rotten tomato. Kesimpulan yang bisa gw ambil disini adalah Gal Gadot dan Patty Jenkins adalah superhero yang sebenarnya. Film mengenai strong independent woman yang disutradari oleh strong independent woman hanya akan menghasilkan masterpiece. Dan temen-temen jangan heran kalo film ini juga penuh dengan pesan feminisme yang akan gw bahasa dalam tulisan ini.

Walaupun bisa dibilang sukses, film ini tidak luput akan kritik. salah satu kritik film ini adalah dari sisi villainnya. Orang-orang menganggap bahwa Ares adalah villain yang kurang menarik, standard dan cliche. Menurut gw pandangan tersebut tidaklah tepat. Jika diamati dengan seksama, konflik Ares dengan Diana sangatlah menarik dan justru jauh dari cliche. Jika dibandingkan dengan villain-villain lain yang motivasinya kebanyakan untuk menguasai dunia, menguasai alam semesta, dll, konflik Ares dan Diana sangatlah filosofis. Seperti apa? Let's dive right in.

Tidak seperti villain-villain lain, Ares tidak secara membabi buta benci terhadap Diana, no! Justru Ares ingin mengajak Diana untuk bisa melihat kondisi dunia yang sebenarnya. Konflik Ares dengan Diana terletak pada pandangan mereka mengenai sifat manusia (human nature) dan konsep keadilan (nature of justice). Diana percaya bahwa manusia pada dasarnya (esensinya) baik dan hanya menjadi jahat karena pengaruh Ares


sedangkan Ares percaya bahwa manusia pada dasarnya bajingan.


Bisa dibilang kalo ini adalah pertarungan essentialism. Essentialism adalah pandangan filsafat yang mengatakan bahwa setiap benda yang ada di dunia ini punya properti inheren atau essence didalamnya yang berfungsi sebagai identitas benda tersebut dan membedakannya dengan benda lain.

Pandangan Ares terhadap manusia cocok dilihat dari kacamata Sigmund Freud, bapak psikoanalisa dari Swiss, Dalam bukunya yang berjudul Civilisation and its Discontents, Freud menulis :

“The bit of truth behind all this – one so eagerly denied – is that men are not gentle, friendly creatures wishing for love, who simply defend themselves if they are attacked, but that a powerful measure for aggression has to be reckoned as part of their instinctual endowment. The result is that their neighbour is to them not only a possible helper or sexual object, but also a temptation to them to gratify their aggressiveness on him, to exploit his capacity for work without recompense, to use him sexually without his consent, to seize his possessions, to humiliate him, to cause him to pain, to torture and kill him. Homo Homini Lupus…” 




Menurut Freud, manusia pada dasarnya cuma punya dua insting yaitu :

1. Life Instinct/ insting seks (Eros). Dalam teori Freudian, insting ini kerjaannya mencari kenikmatan biologis dan memiliki peran untuk mendorong manusia bertahan hidup. Kenikmatan biologis yang dimaksud pada intinya adalah seks. Tapi tidak terbatas pada kenikmatan organ seksual saja. Menurut Freud, seluruh tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyediakan kenikmatan seksual yang ia sebut sebagai erotogenic zone. Jadi, kenikmatan yang didapat dari makan dan minum misalnya, pada dasarnya adalah kenikmatan seksual karena mulut merupakan salah satu erotogenic zone. Menurut Freud, dorongan bertahan hidup manusia didasari oleh cinta pada diri sendiri (narcissism). Oleh karena itu, dorongan perilaku manusia pada dasarnya adalah untuk kenikmatan diri sendiri.

2. Death instinct/ insting agresi (Thanatos). Menurut Freud, semua organisme yang ada di dunia ini (termasuk manusia) punya keinginan (desire) untuk kembali ke bentuk inorganic (inorganic state), ke keadaan dimana manusia tidak lagi harus memuaskan hawa nafsu alias manusia memiliki keinginan untuk mengakhiri eksistensi (mati). Namun, karena death instinct harus berintegrasi dengan life instinct, maka ekspresinya berubah menjadi keinginan untuk menghancurkan orang lain. Gosip, sarkasme, becandaan ngejek, bullying adalah contoh ekpresi death instinct dalam level rendah. Pada level ekstrim contohnya adalah tindakan terorisme seperti yang sedang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Seperti kata Freud : Manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Freud dan Ares juga sama-sama penganut psychic determinism, yaitu pandangan filsafat yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas yang artinya manusia tidak memiliki kontrol terhadap perilakunya. Segala perilaku manusia sudah ditentukan oleh dorongan insting hewani yang udah dari sononya. Karena insting inheren yang ada di dalam diri manusia adalah jahat maka Ares percaya bahwa manusia terkutuk untuk jadi makhluk bajingan seumur hidup.

Hal ini membawa kita kepada scene dimana Diana mengatakan :

It's not about deserve, it's about my fabulous hair

Ini line yang chessy at best dan membingungkan at worst. Gw yakin banyak diantara temen-temen yang udah nonton pasti juga bingung atau mungkin mengira line ini ditujukan untuk Steve Trevor. Tapi gw akan mencoba nge-break down makna dibalik line tersebut. Pertama-tama kita harus melihat konteks dibalik line tersebut. Kata-kata tersebut diucapkan Diana sebagai respon terhadap klaim Ares terhadap manusia. Apa saja klaim tersebut? Karena seperti yang udah dibahas bahwa Ares percaya kalo manusia itu pada dasarnya berengsek, maka :

1) Manusia pantas untuk dihukum/dihancurkan.
2) Manusia tidak pantas memperoleh keselamatan.


Mari kita bahas poinya satu per satu. Gw akan bahas mulai dari poin pertama yaitu manusia pantas untuk dihancurkan. Klaim ini mengacu pada konsep yang disebut sebagai retributive justice. Dalam buku Metaphysics of Morals, Immanuel Kant berkata bahwa :

“Judicial punishment can never be used merely as a means to promote some other good for the criminal himself or for civil society, but instead it must in all cases be imposed on him only on the ground that he has committed a crime” 

Retributive justice secara sederhana adalah pandangan bahwa respon terbaik dari suatu tindak kejahatan adalah hukuman yang proporsional/setimpal dengan kejahatan tersebut. Kurang lebih mata ganti mata, gigi ganti gigi. Kalo lu berbuat jahat maka lu pantes (bahkan harus) dijahatin balik. Pandangan ini merupakan respon Ares dari apa yang ia saksikan dilakukan oleh umat manusia sepanjang sejarah. Ares melihat bahwa manusia kerjaanya ga pernah lebih dari saling menghancurkan, saling memanfaatkan satu sama lain demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu Ares dibalik layar mendalangi perang dunia pertama. Biar manusia saling menghancurkan satu sama lain. Karena menurut Ares karena manusia udah sebegitu busuknya, manusia tidak pantas untuk hidup.

Klaim Ares yang kedua adalah : manusia tidak pantas untuk diselamatkan. Pandang ini disebut sebagai equity norm of distributive justice. Klaim ini merupakan klaim yang lebih personal untuk Diana karena memunculkan pertanyaan besar : siapa yang pantas diselamatkan? Donelson R. Forsyth mendefinisikan Equity norm of distributive justice sebagai tipe keadilan dimana individu hanya berhak mendapatkan sesuatu berdasarkan proporsi usaha/kontribusi yang sudah ia berikan. Contoh singkatnya pegawai yang jam kerjanya lebih lama berhak mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibanding dengan jam kerjanya sebentar. Basically ini tipe keadilan berdasarkan merit (usaha). Klaim ini bukan cuma miliki Ares. Bahkan Hippolyta, nyokapnya Diana, berkali-kali mengatakan hal yang sama.

Nak, dunia tidak pantas mendapatkan film sebagus ini

Sekarang kita pindahkan kamera ke Diana. Diana memiliki pandangan yang berbeda dengan Ares, namun uniknya pandangan Diana mengalami evolusi disepanjang film. Disaat yang lain menjustifikasi tindakan mereka melalui kacamata retributive dan distributive justice, Diana mengambil jalur berbeda. Pada awal film, keinginan Diana untuk menolong manusia didasarkan oleh kesadaran bahwa dirinya mengemban suatu tugas (duty/deon). Pandangan ini disebut sebagai deontologi. Deontologi adalah teori moral yang mengatakan bahwa moralitas suatu tindakan haruslah didasarkan pada benar atau salahnya tindakan tersebut sesuai dengan aturan yang disepakati. Teori ini tidak menjadikan konsekuensi sebagai tolak ukur benar atau salahnya suatu tindakan. Jadi kita memiliki tugas (duty) untuk melakukan tindakan yang benar dan tidak melakukan yang salah tidak peduli konsekuensinya. Menurut Immanuel Kant, untuk menentukan apakah suatu tindakan dapat disebut moral, tindakan tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ia sebut sebagai categorical imperative yaitu :

1. Tindakan harus bisa dijadikan hukum yang universal (maxim). Misalnya lu mau selingkuh. Untuk menentukan kalo selingkuh itu bener ato salah lu harus nanya balik ke diri sendiri “gw mau ga diselingkuhin?” kalo ga mau berarti tindakah selingkuh tidak universal, maka selingkuh bukanlah tindakan yang benar/moral.
2. Tindakan harus menjadikan manusia sebagai tujuan bukan sebagai cara (mankind as an end not means). Kalo lu pacaran sama orang cuma buat ngedapetin hartanya maka itu bukan tindakan yang benar karena lu memperlakukan manusia lain sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu.
3. Bertindaklah seakan-akan lu tuh seorang pemimpin suatu negara dan tindakan-tindakan lu kalo dijadikan hukum bisa menciptakan keharmonisan.

Pandangan deontologi sebenarnya tidak unik milik Diana. Hampir semua superhero yang pernah ada memegang beberapa versi deontologi sebagai kompas moral mereka. Contoh yang paling klasik adalah Superman dengan slogan “The Truth, Justice and the American Way dan Batman dengan ‘no killing code’nya. Versi deontologi yang dipegang Diana di film ini bernama divine command theory. Divine command theory mengatakan bahwa tindakan yang benar atau salah adalah apa yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa (Divine), sehingga manusia memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan hal tersebut. Misalnya kalo YMK udah menentukan kalo nyimeng adalah salah ya berarti nyimeng itu salah apapun kondisinya. Hal ini bisa dilihat dari persistensi Diana diawal film untuk menyelamatkan manusia karena hal itu adalah tugas yang diberikan para dewa kepada kaum Amazon.

Bukan amazon ini ya maksudnya!

Kita melihat disepanjang film Diana memegang teguh pandangan tersebut. Namun semua berubah ketika ia berhasil membunuh Ludendorff. Manusia tetap tidak berhenti perang walaupun ia telah mati. Pada akhirnya Diana mulai merefleksikan kata-kata emak nya. Mungkin manusia emang udah saking busuknya ga pantes diselamatkan. Jadi disini kita lihat bahwa berbeda dengan Ares, Diana mulai melepaskan semua nilai-nilai yang ia pegang. Diana mengalami crisis of conscience. Bagaimana caranya Diana keluar dari krisis tersebut? Kita balik lagi ke cheesy line :


Sekilas terlihat kalo Diana percaya akan cintanya Steve Trevor. Tapi please lah lu percaya cliche kayak gitu bisa ada difilm epic kayak  gini? haha. Engga coy, maksud dari kata-kata cheesy ini baru menjadi jelas di akhir film. Diakhir perjalanan Diana, kita melihat ada satu hal yang membedakan Diana dengan superhero lain. Superhero lain kayak Superman, Batman atau Captain America memiliki sense of duty, yaitu bahwa membela yang lemah merupakan suatu tugas yang wajib dijalankan. Tapi tidak untuk Diana. Diana menyadari bahwa menyelamatkan dunia bukanlah tugasnya. Ia tidak memiliki kewajiban untuk menyelamatkan siapapun karena tidak ada satu manusia pun yang pantas diselamatkan. Diana mulai menyadari bahwa manusia itu sangat complex, sangat rumit. Dengan segala kebaikan mereka, manusia tetap memiliki potensi kejahatan di dalam hati mereka. Apakah hal tersebut membuat Diana menyerah atas manusia? Nope! Diana tetap memilih untuk menyelamatkan bukan karena manusia pantas diselamatkan tetapi karena ia mau, karena ia cinta sama manusia. She loves the shit out of people. Jadi kata kuncinya disini adalah cinta.


Nah inilah yang membuat Diana menjadi superhero yang menarik serta berbeda dengan superhero lain. Kalo superhero lain menempatkan sense of moralitynya pada deontologi atau utilitarianisme, Diana memilih jalur moral yang berbeda yang belum pernah ditampilkan oleh superhero lain yang bernama care ethics. Care ethics adalah salah satu teori moralitas yang saat ini mulai mendapat spotlight. Berbeda dengan teori moralitas lain, care ethics tidak berbicara mengenai keadilan dalam arti yang sempit, melainkan lebih mengenai kepedulian. Bukan tentang apa yang pantas didapatkan seseorang melainkan bagaimana harus merespon orang yang membutuhkan bantuan sekalipun orang itu jahat. Kayak orangtua yang sayang sama anaknya sekalipun anaknya macem Ahmad Dhani. Care ethics adalah teori moralitas yang didasarkan oleh cinta.

Ide mengenai Care ethics bisa ditelusuri jejaknya dari psikolog Amerika, Carol Gilligan. Dalam bukunya In a Different Voice, Gilligan menginvestigasi perkembangan moralitas perempuan. Selama ini teori-teori psikologi perkembangan maupun kepribadian mengatakan bahwa konsep moralitas perempuan lebih inferior dari laki-laki. Namun Gilligan menemukan bahwa, wanita memiliki "suara" yang berbeda tentang moralitas. Karena perempuan suatu saat akan memiliki anak, maka perempuan dari sononya punya inner instinct untuk care atau peduli. Kadang perempuan terlihat kurang konsisten mengenai pemecahan masalah saat ada dilema, tapi menurut Gilligan itu karena perempuan punya kecenderungan untuk mengutamakan hubungan /relationship dengan orang lain. Perempuan selalu mencari cara untuk menyelesaikan dilema tanpa harus menyakiti perasaan orang lain atau membuat hubungan dengan orang lain menjadi rusak. Hal ini udah terlihat dari masa kanak-kanak pada diri perempuan. Coba temen-temen check this video out :


Perempuan punya insting dasar untuk peduli/care dan mencintai sesamanya. Intinya sih begitu tapi kalo temen-temen mendapat insight lebih lengkap silahkan baca bukunya karena ini buku bagus banget sih, sangat insightful.


Care ethics bukanlah teori moralitas yang memiliki aturan strict kayak categorical imperativenya deontologi, namun ada nilai-nilai umum yang dipegang dalam teori ini seperti :
  1. Attentiveness. Dimana kita harus peka terhadap kebutuhan orang lain
  2. Responsibility. Dalam bahasa inggris kata kewajiban ada dua yaitu responsibility dan obligation. Namun dalam care ethics, responsibility beda dengan obligation.Menurut Joan Tronto, obligation merujuk pada kewajiban secara hukum, sedangkan responsibility lebih ambigu ,artinya kewajiban menolong seseorang itu berdasarkan kemampuan si penolong. Orang lebih punya kemampuan, lebih memiliki kewajiban untuk menolong orang. 
  3. Competency. Seperti poin diatas, untuk menolong orang lain si penolong harus kompeten atau memiliki kemampuan untuk menolong. Kalo engga ntar bukannya nolong malah nambanh susah.
  4. Responsiveness. Untuk menolong seseorang, kita harus melihat bagaimana orang merespon pertolongan kita. Tujuannya supaya kita tahu sejauh mana orang itu butuh bantuan. 
 Jadi basically ini adalah teori moralitasnya feminis. Jadi pas banget ya, kita sedang melihat supehero perempuan yang menerapkan nilai-nilai feminisme. Gw bener-bener tercerahkan ketika tahu teori ini. Menurut gw ini adalah sesuatu yang diperlukan dunia kalo kita mau suatu saat bisa mencapai perdamaian. Teori ini mengajarkan bahwa setiap orang sebenarnya adalah makhluk yang rentan, lemah dan tidak berdaya walaupun sejahat apapun orang itu. Seringkali kan manusia melakukan tindakan jahat karena untuk menutupi kelemahan dirinya. Jadi daripada kita menghukum, film ini mau mengajak kita untuk bertanya bagaimana caranya membantu orang lain sesuai kebutuhan dirinya. Hal ini ditunjukkan oleh Diana saat ia tergerak untuk mengampuni nyawa Dr. Poison.

Diana : "Minggir bos, berat nih tank"

Jadi bagaimana menurut temen-temen? apakah manusia terkutuk jadi makhluk bajingan selamanya dan tidak pantas diselamatkan? atau maukah kita meniru Diana dan tetap mencintai sesama manusia walaupun mereka mungkin sangat ga pantas untuk dicintai? Atau lebih penting lagi, apakah bisa kita kayak Diana? perlu diingat, Diana itu bukan manusia tapi dia demi-god. Dia memiliki posisi diatas manusia. Sedangkan manusia akan selalu memiliki kekurangan. Kita akan selalu memiliki instinct untuk egois dan memikirkan diri sendiri. Bisakah kita mengatasi sifat kebinatangan kita (transcend) atau apakah kita akan selamanya terkutuk untuk saling menghabisi satu sama lain? Silahkan tulis pendapat temen-temen di kolom komentar dan selamat pusing.
 





Monday, August 27, 2018

Inside Out : Siapa Villain Sebenarnya?

Akhirnya setelah tiga tahun berlalu, kesampean juga nulis tentang nih film. Menurut gw, filmnya cukup bagus sih, cuma pas nonton pertama kali sebenarnya ga terlalu spesial buat gua, ya standard film Disney/Pixar lah. Tapi setelah gw nonton ulang serta melihat beberapa pembahasan di internet, gw jadi tersadar bahwa makna tersembunyi dari film ini super relevan sama keadaan society kita jaman sekarang, baik di Indonesia maupun dunia. Pertanyaan besar yang ingin gw bahas di dalam tulisan ini adalah : Apakah Joy itu beneran tokoh baik (the good guy) difilm ini? Fair warning, tulisan gw tentang film ini mungkin akan cukup panjang jadi please bear with me and read it carefully ya dan sebelumnya spoilers ahead.

Inside Out merupakan film animasi 3D yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios dan dipublikasikan oleh Walt Disney Pictures. Resepsi yang diterima film ini cukup bagus. Situs Rotten Tomato memberi film ini rating 98% berdasarkan 331 review dan rating rata-rata 8.9/10. Kritik memuji film ini sebagai "film animasi yang unik, memiliki visual yang indah serta sangat menyentuh. Film ini adalah tambahan baru untuk sederetan film animasi klasik modern milik Pixar yang luar biasa". Well not so bad eh?

Apa sih yang membuat film ini dapat diterima masyarakat dengan baik? Selain visual animasi yang bagus serta cerita yang menyentuh film ini juga memiliki konsep yang unik. Film animasi ini berusaha untuk membahas emosi manusia dengan mempersonifikasian lima emosi dasar manusia yaitu perasaan senang, sedih, takut, jijik dan marah (joy, sad, fear, disgust dan anger) dalam bentuk animasi yang cute dan unyu-unyu. Seakan-akan ada orang-orang kecil yang hidup di kepala manusia. You know lah standar Disney/Pixar. Pemilihan warna dalam merepresentasikan emosi pun cukup akurat. Seperti warna merah yang selalu diasosiasikan dengan passion dan rasa marah dan biru diasosiasikan dengan perasaan sedih, kalem, melow.

Konsep emosi yang disuguhkan dalam film tersebut memiliki landasan pada science di dunia nyata. Maksudnya bukan adanya makhluk-makhluk kecil yang mengendalikan emosi di dalam kepala kita ya. Pertama, lima emosi yang menjadi karakter film ini merupakan emosi dasar yang ditemukan pada manusia di seluruh dunia. Paul Ekman (Prinz, 2004) menggagas bahwa terdapat enam emosi dasar manusia (The Big Six emotions model) yaitu senang, sedih, takut, jijik, marah dan terkejut (surprise). Jadi sebenarnya ada enam emosi dasar manusia tapi entah kenapa di film ini cuma ada lima, coba entar gw tanya sama bosnya Pixar.

Kemudian ide mengenai hubungan antara emosi dan rasio (logika). Beberapa tahun yang lalu, para peneliti percaya bahwa emosi menganggu atau merusak proses berpikir logis dan pengambilan keputusan (Jones dalam Stratton, 2012). Namun akhir-akhir ini peneliti pro-emosi menemukan bahwa ternyata emosi justru memiliki peran penting dalam mengorganisir logika dan pengambilan keputusan. Salah satu fungsi emosi dalam kemampuan berpikir rasional adalah emosi membantu mengatur hal apa yang menjadi prioritas. Contohnya menurut Solomon (dalam Lerner et al, 2014), emosi marah adalah respon atas ketidakadilan. Loomes & Sugden (1982) antisipasi penyesalan dapat memberi alasan untuk menghindari pengambilan resiko yang berlebihan. Dalam film ini misalnya, kita bisa melihat Riley mengungkapkan rasa marah saat ia merasa ayahnya tidak adil dan rasa takut melindungi dirinya dari ancaman kematian. Seperti kata Robert Levenson (dalam Stratton, 2012) emosi merupakan alat yang efisien untuk beradaptasi dan bertahan hidup pada lingkungan yang terus berubah.

Tanpa rasa takut, filmnya bakalan berakhir tepat dimenit 3:11

HULK SMASH!
Selain itu, film ini juga dengan baik mendemostrasikan bagaimana memori bekerja. Dulu peneliti mengira bahwa memori itu kayak perpustakaan besar dimana kita menyimpan semua ingatan dan bisa sewaktu-waktu dimunculkan kembali. Tapi berkat majunya ilmu pengetahuan sekarang kita tahu bahwa ada yang namanya memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Ingatan yang tidak terlalu lama kita butuhkan akan tersimpan di memori jangka pendek. Ingatan dalam short term memory akan hilang jika sudah tidak lagi penting. Ingatan yang penting atau bahkan memiliki makna emosi tersendiri akan tersimpan di memori jangka panjang. Seperti dalam film, ingatan yang sudah tidak diperlukan oleh Riley akan dibuang ke memory dump. Seems they've done their homework really well huh?

Nih pasti karyawan hotel Santika ICE

Awesome science aside, gw mau menunjukkan bahwa mungkin selama ini kita memiliki pandangan yang salah tentang film ini. Sekarang gw mau tanya, dalam film ini siapa heronya? Gw yakin kita semua menganggap Joy lah pahlawan dalam film ini. Kalo gitu siapa bad guynya? Mungkin kita berpikir sadness , keluarga Riley yang disfungsional atau juga "hmm kayaknya ga ada deh tokoh jahanya". Gimana kalo gw bilang kalo lu semua salah? Dalam tulisan ini, gw mau berargumen bahwa Joy adalah tokoh jahat (the bad guy) dari film ini. Yup you heard me right!

Kalau disimak secara sekilas, film ini bercerita tentang Riley, gadis remaja berumur sebelas tahun yang harus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari pekerjaan ayahnya yang mengharuskan sekeluarga harus pindah rumah, Riley harus berpisah dengan teman-temannya dan beradaptasi dengan sekolah baru yang tidak ia kenal. Dalam film ini kita melihat bagaimana lima emosi tersebut berusaha untuk tetap membuat Riley bahagia, terutama Joy. Namun semua berubah ketika negara api menyerang. Eh sori salah franchise. Maksudnya, semua berubah saat Sadness secara impulsif menyentuh bola memori utama (core memories) dan membuat Riley menjadi sedih. Joy yang berusaha untuk merubah core memory menjadi bahagia terlempar dari headquarter bersama Sadness dan beberapa core memories yang lain. Singkat cerita, Riley kemudian memutuskan untuk kabur dari rumahnya di San Fransico dan pergi menuju rumah lamanya di Minessota. Kayaknya itu di daerah Tangerang Selatan. Joy memutuskan akan melakukan apapun untuk menjaga Riley tetap bahagia. Tapi pada akhir film, Sadness lah yang berhasil membuat Riley menyesali perbuatannya dan memutuskan untuk kembali ke orang tuanya. Joy mendapat pelajaran berharga bahwa terkadang kita harus membiarkan kesedihan muncul.

Kita bisa melihat film ini dari sudut pandang lain. Dalam film ini, kita bisa melihat bagaimana Joy bertindak layaknya seorang diktator. Dari awal film temen-temen bisa lihat bagaimana Joy bertindak seperti seorang bos egomaniak yang ngatur-ngatur emosi lain melakukan ini itu untuk satu tujuan yaitu supaya kebahagiaan selalu duduk di kursi paling depan dalam pikiran Riley. Buat Joy emosi bahagia adalah emosi yang terpenting dari emosi yang lain. Emosi yang lain hanyalah alat yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan. Kalau ada emosi yang menurutnya tidak berkontribusi untuk kebahagiaan atau bahkan mengancam kebahagiaan, maka Joy tidak akan segan-segan mengeliminasi emosi tersebut, emosi seperti rasa sedih (sadness) misalnya. Bisa dilihat dalam film bagaimana Joy melakukan segala cara untuk membuat sadness tidak menyentuh core memories. Pada intinya, Joy akan melakukan segala cara untuk membuat Riley terus bahagia.

Kalo dilihat dari sudut pandang tersebut, maka film ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana Joy yang dengan segala usahanya untuk mempertahankan agar Riley tetap merasa bahagia malah hampir membuat Riley menjadi manusia yang tidak bisa berfungsi dengan baik. Bisa dilihat dari petualangan Joy dan Sadness dalam mengembalikan core memories. Gara-gara Joy ngelarang Sadness untuk menyentuh satu core memory, akhirnya Joy dan sadness harus terlempar keluar dari headquarter mereka, meninggalkan tiga emosi lain yang harus pegang kendali. Hasilnya, emosi dan mood Riley sepanjang hari malah jadi berantakan. Riley jadi lebih agresif terhadap orangtuanya, kesulitan untuk berinteraksi dengan teman-temannya bahkan hampir kabur dari rumahnya. Segala usaha Joy untuk selalu berpikir dan bersikap positif malah membuat perjalanan pulang mereka tambah susah. Joy bahkan berhasil membunuh teman khayalan Riley, Bing Bong, walau tidak disengaja. Man what a bitch!

Jika dilihat dari sudut pandang ini, film inside out sebenarnya merupakan kritik terhadap budaya kebahagiaan wajib (compulsory happiness) pada masyarakat abad ke-20. Jaman sekarang kayaknya tidak merasa bahagia bukanlah pilihan. Ide untuk mengejar kebahagiaan gencar ditanamkan kedalam pikiran kita. Mulai dari konselor sekolah, HRD, psikolog, psikiater sampe motivator tv dengan golden waysnya mencekoki ide bahwa kita harus mengejar kebahagiaan. Selalu tampil dengan sikap yang positif, untuk terus keliatan senang, bahagia, senyum lebar, dll. Dalam bukunya yang berjudul The Happiness Industry, seorang sosiolog politik asal Inggris William Davies mengatakan bahwa :
“…happiness science is ‘critique turned inwards’….The relentless fascination with quantities of subjective feeling can only possibly divert critical attention away from broader political and economic problems

Yang ingin disampaikan oleh Davies adalah bahwa society kita sudah diprogram untuk percaya bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi. Bahwa kebahagiaan ada di dalam pikiran. Hal ini ditunjukkan dengan baik di film Inside Out dimana konflik yang dialami Riley terjadi di dalam pikirannya. Terdapat satu scene dalam film dimana ibu Riley meminta Riley agar tetap tersenyum ditengah-tengah kesulitan yang mereka hadapi. Pesan yang disampaikan oleh scene ini adalah : kita semua menderita tapi at least pasang topeng bahagia.

"Kid, when life fucks you in the ass, just keep smiling"


Sisi gelap dari hal ini adalah adanya celah untuk menyalahkan individu jika ia tidak bahagia. Kalo elu ga bahagia berarti lu kurang bertanggung jawab sama diri lu. Padahal sumber ketidakbahagiaan tidak sesederhana itu. Yang kita sering lupa adalah seringkali lingkungan tidak mengijinkan kita untuk bahagia. Man gimana caranya mau bahagia kalo besok aja ga tau makan makan apa? jadi kaya? gimana caranya jadi orang kaya kalo lu digaji ga seberapa? kalo means of production dikontrol sama segilintir orang? gimana caranya lu bisa terus senyum ditempat kerja kalo rekan kerja lu berengsek semua? kalo general manager pelit setengah mati ga memperhatikan kesejahteraan karyawan? kalo tamu yang lu layanin bangsat kayak tai? Terdapat beberapa studi mengenai bagaimana depresi dan ketidakbahagiaan banyak ditemukan di daerah-daerah yang kesenjangan sosialnya tinggi serta daerah yang sangat materialis dan kompetitif. Itulah yang Davies sebut sebagai ‘critique turned inwards’. Bukannya mengkritik sistem yang menjadikan kita sengsara, society memaksa kita untuk membelokkan kritik tersebut ke dalam diri kita. Membuat kita ga sadar sama ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.

Dalam bukunya tersebut, Davies menjelaskan bahwa budaya kebahagiaan merupakan elemen yang sangat penting untuk menjalankan roda neoliberal kapitalisme. Sebenernya definisi neoliberalisme sendiri masih banyak perdebatan tapi pada dasarnya neoliberalisme adalah sistem ekonomi dimana adanya pemberian kebebasan terhadap korporasi untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, korporasi yang memiliki hak untuk meregulasi kebijakan dan aturan pasar bebas. Sistem ekonomi ini ditandai dengan adanya kompetisi. Ini sistem agak lumayan jahat kalo dipikir-pikir. Menurut artikel yang ditulis oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia di Corpwatch.org, terdapat lima poin utama yang membentuk sistem neoliberalisme yaitu :
  • The Rule of the Market. Menghilangkan (atau at least mengurangi) aturan pemerintah yang mengekang korporasi tidak peduli seberapa banyak kehancuran yang dihasilkan. Membuka peluang perdagangan dan investasi internasional secara lebih luas, e.g NAFTA. Pengurangan gaji dan hak-hak karyawan. Menghilangkan kontrol harga
  • Cutting Public Expenditure For Social Services. Memotong biaya untuk fasilitas umum seperti perbaikan jalan, trotoar, dll. Katanya sih semua ini dilakukan untuk menghilangkan peran pemerintah dalam urusan ekonomi. Tapi mereka tidak menolak kebijakan pemerintah yang menguntungkan korporasi
  • Deregulation. Mengurangi aturan pemerintah yang bisa mengurangi profit
  • Privatization. Pengalihan goods and services seperti bank, jalan raya, sekolah, listrik bahkan air yang dimiliki pemerintah ke sektor privat. Semua dengan alasan efisiensi. Tapi pada kenyataannya malah terjadi adalah pemusatan kekayaan pada segelintir orang.
  • Eliminating the Concept of Public Good and Services. Menghilangkan konsep pelayanan dan komunitas sosial dan menggantinya dengan konsep “kalo mau berobat, kalo mau sekolah, kalo mau aman cari solusi sendiri! kalo gagal berarti lu males!”.
Kebahagiaan saat ini tidak lebih dari sekedar alat yang digunakan oleh para babi kapitalis untuk mengontrol masyarakat agar terus mengonsumsi produk dan mengeksploitasi kaum pekerja agar loyal dan rajin bekerja untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Banyak orang tidak sadari bahkan konsep kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini adalah hasil pemrograman pikiran lewat film, iklan, dll yang diendorse oleh korporasi untuk menghasilkan keuntungan. Misalnya pada tahun 1903 dan 1908, seorang professor pskologi, Walter Dill Scott, menerbitkan buku yang berjudul The Theory of Advertising dan The Psychology of Advertising. Dalam buku tersebut pada intinya Scott berargumen bahwa karena manusia sebagai konsumen bukanlah makhluk yang seratus persen rasional maka mereka dapat dipengaruhi. Iklan yang tadinya berfungsi sebagai alat penyalur informasi berubah menjadi alat persuasi. Menurut Scott terdapat tiga tahap teknik advertising yaitu : attention, comprehension dan understanding. Yang perlu diperhatikan adalah pada tahap comprehension. Pada tahap ini, iklan harus bisa menciptakan emosi positif terhadap produk yang ditawarkan. Teori ini didukung oleh penelitian Jaap Stout (2014) dan Ademola B. Owolabi (2009). Hasil kedua penelitian tersebut sama-sama menyatakan bahwa emosi positif (aka kebahagiaan) cenderung mampu membuat orang jadi ingin membeli produk yang diiklankan.



Tidak sampai disitu, kebahagiaan juga digunakan perusahaan untuk membuat karyawan terus loyal dan terus bekerja untuk menghasilkan profit untuk perusahaan. Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana tingkat kebahagiaan karyawan berdampak pada tingkat profit perusahaan. Misalnya menurut insyncsurveys.com, beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa perusahaan dengan karyawan yang sangat termotivasi, dapat menikmati penghasilan 26 persen lebih tinggi per karyawan. Itulah mengapa perusahaan memberikan fasilitas-fasilitas bagi karyawan seperti tempat gym, kolam renang, atau kayak di hotel tempat gw kerja dulu setahun sekali diadain jalan-jalan bareng karyawan hotel plus kegiatan team building. Semua itu hanyalah alat yang digunakan supaya elu tetap loyal dan tetap termotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk perusahaan. Tidak peduli apakah lu suka sama kerjaan lu, tidak peduli lu rekan kerja lu berengsek semua, ga peduli bos lu bangsat, ga peduli lu harus terpaksa senyum sama tamu yang makannya berantakan kayak binatang, yang penting your job is fun!


Kalo dalam konteks film Inside Out, kita harusnya jadi ngerti kenapa Joy ingin Sadness ga ikut campur dalam kendali emosi Riley. Hal ini menggambarkan bagaimana korporasi ga mau karyawannya sedih, karena karyawan yang sedih/tidak bahagia tidak bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Jelas jadinya kenapa korporasi selalu berusaha membuat kebahagiaan jadi emosi yang utama dalam diri kita. Yang menarik adalah artikel yang berjudul 'Does it pay for firms to invest in their worker’s wellbeing?' dari Voxeu.org yang intinya mengatakan bahwa perusahaan hanya mau berinvestasi untuk kebahagiaan karyawan selama hal tersebut membawa profit bagi perusahaan. Wakakakak thanks Voxeu, at least lu jujur.

Kenapa gw ngomongin ini semua? karena ada bahaya besar yang cukup mengancam dibalik budaya kebahagiaan yang ditanamkan oleh para babi kapitalis. Tanpa kita sadari, kita hidup diera surveillance. Babi-babi tersebut berusaha masuk ke sendi-sendi kehidupan privat masyarakat dengan tujuan untuk memonitor dan mencari tahu bagaimana menjaga agar orang-orang tetap memiliki emosi positif, tetap bahagia. Untuk tahu apa yang membuat mood kita selalu positif mereka kan butuh data. Bagaimana mereka bisa memperoleh data tersebut? dengan cara memantau setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah hal yang mengerikan karena setiap aspek kehidupan kita akan dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjadi alat yang membawa profit untuk mereka. Kita ga bakal tahu lagi apakah kulit putih itu lambang kecantikan ato itu adalah hasil pemrograman iklan produk pemutih kulit. Kita diprogram kayak robot buat jadi budak para babi tersebut.

Salah satu contoh yang cukup horor adalah pada tahun 2014 Facebook mempublikasikan paper akademik yang berisikan bagaimana sosial media tersebut berhasil memanipulasi mood penggunanya lewat manipulasi news feed tanpa konsen pengguna (link untuk mengunduh papernya akan gw cantumkan di daftar pustaka). Ditambah lagi dengan berita baru-baru ini tentang kebocoran data Facebook yang diperjual belikan untuk korporasi. Ini cocok banget nih buat jadi episodenya Black Mirror. Selain itu, tahun 2014 British Airways melakukan uji coba happiness blanket, yaitu selimut yang bisa memonitor keadaan emosi penumpang dengan melihat aktifitas neuron. Kalo penumpangnya rileks, selimutnya berubah warna jadi biru. Alat ini bukan cuma memonitor keadaan emosi saja, tapi juga mengumpulkan data mengenai apa yang membuat penumpang menjadi rileks dan bagaimana efeknya terhadap otak. Aplikasi-aplikasi yang ada di smartphone lu pada itu banyak yang punya fitur pengumpulan data. Apps buat diet misalnya mengumpulkan data tiap harinya tentang gaya hidup dan pola makan pengguna.


Apakah temen-temen sekarang sudah sadar ancaman yang sedang mengintai kehidupan kita. Hak-hak privat kita sedang dirampas oleh babi-babi tersebut dan gobloknya kita ngebiarin. Sekarang gimana caranya kita tahu kalo Facebook ga lagi memanipulasi emosi kita? gimana caranya kita tahu kalo data-data yang secara cuma-cuma lu berikan melalui aplikasi smartphone tidak sedang diperjual belikan ke perusahaan yang ingin tahu caranya memanipulasi lu pada supaya mengkonsumsi produk yang mereka jual? Sekarang bagaimana kita bisa yakin kalo kita tetap setia kerja sama perusahaan tertentu karena emang kita suka atau sudah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kita merasa ga enak buat keluar dari situ? Silahkan temen-temen jawab pertanyaan-pertanyaan ini masing-masing.
Kalau gitu apakah kita harus menjadi manusia-manusia yang sendu, emo dan galau? Ya tentu saja engga. Beberapa poin penting yag mau gw sampein disini pertama, untuk mencapai emotional well being yang baik dan benar manusia butuh mengekspresikan semua emosi yang ada. Kita ga bisa berfungsi sebagai manusia yang sehat dengan mengandalkan satu emosi saja. Menurut paper yang dipublish di International Journal of Psychophysiology, terdapat beberapa efek negatif akibat emosi yang ditekan (emotion suppression). Misalnya menurut Dunn et al (dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014) emotion suppression dapat mengakibatkan memory impairment. Emotion suppression juga dapat menstimulasi respon fisiologis maladaptive. Selain itu emotion suppression juga memiliki efek sosial negatif seperti berkurangnya akes ke dukungan sosial, berkurangnya kepuasan sosial dan dapat melukai hubungan interpersonal (Amirkhan et al dalam Peters, Overall & Jamieson, 2014). Bisa dilihat dalam film bagaimana Riley hampir menjadi depresi gara-gara terus-terusan menekan emosi kesedihan dan berusaha untuk tetap bahagia ditengah-tengah masalah yang dihadapi. Diakhir film kita melihat bagaimana akhirnya Riley bisa kembali menjadi manusia yang sehat secara emosional setelah membiarkan dirinya mengekspresikan kesedihan. Dari situ Riley memiliki pemaknaan baru mengenai hidup dan mampu menjalani kehidupannya dengan semangat yang baru.

Poin kedua yang ingin gw sampaikan adalah kita harus mulai berintrospeksi diri, mulai mempertanyakan realita yang ada di masyarakat. Apakah kebahagiaan yang selama ini gw kejar adalah sesuatu yang meaningful atau cuma kesia-siaan hasil penanaman ide oleh korporasi lewat iklan dan film? Apakah gw bahagia karena benar-benar merasa bahagia atau karena manipulasi sosia media? Apakah benar tujuan hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan? Friedrich Nietzsche pernah menulis : “Mankind does not strive for happiness, only the Englishman does that”. Silahkan interpretasi sendiri makna quotasinya. Mungkin kita harus mengejar tipe kebahagiaan yang berbeda. Yunani kuno memiliki konsep kebahagiaan yang disebut eudaimonia (eu = baik/good + daimon =jiwa/spirit). Eudaimonia berarti good spirit atau jiwa yang baik. Definisi yang disetujui banyak ahli adalah jiwa yang bertumbuh (flourish). Untuk mencapai eudaimonia kita perlu memiliki ‘arete’ yang berarti kebajikan (virtue). Menurut Aristoteles, hidup yang bahagia bukanlah hidup yang simply mengejar kesenangan duniawi semata tapi mengejar nilai kebajikan dan keadilan (virtue and justice).
Hal serupa tapi tak sama dikemukakan oleh filsuf Denmark Soren Kierkegaard dalam bukunya yang berjudul The Sickness Unto Death, mengatakan bahwa orang yang hidup hanya mengejar kebahagiaan duniawi tidaklah benar-benar bahagia melainkan sedang berada dalam fortvivlelse (despair/keadaan tanpa pengharapan). Bagi Kierkegaard satu-satunya cara untuk hidup bahagia dan keluar dari despair adalah dengan mengembalikan koneksi yang terputus dari Sang Pencipta alias iman kepada Tuhan. Formula kesembuhan dari despair menurut Kierkegaard :
In relating itself to itself and in willing to be itself, the self rests transparently in the power that established it

Ya begitu aja kira-kira pembahasan gw tentang film Inside Out. Bagaimana teman-teman punya pendapat berbeda? silahkan tulis pendapat teman-teman dikolom komentar. Mudah-mudahan tulisan gw ada gunanya bagi teman-teman yang membaca. Sampe ketemu ditulisan selanjutnya.




Referensi :
Davies, W. (2015). The Happiness Industry : How the Government and Big Bussiness Sold Us Well-Being. London: Verso Books
Lerner, J.S., Li, Y., Valdesolo, P. & Kassam, K. (2014). Emotion and Decision Making. Annual Review of Psychology.
Martinez, E. & Garcia, A. (1997). What is Neoliberalism di https://corpwatch.org/article/what-neoliberalism (akses 3 Mei 2018)
Owolabi, A.B. (2009). Effects of Consumers Mood on Advertising Effectiveness. Europe's Journal of Psychology. 4: 118-127
Peters, B.J., Overall, N.C. & Jamieson, J.P. (2014). Physiological and Cognitive Consequences of Suppressing and Expressing Emotion in Dyadic Interactions. International Journal of Psychophysiology. 94: 100-1007
Prinz, J. (2004). Which Emotions Are Basic. Emotion, Evolution and Rationality.
Scott, W.D. (1913). The Psychology of Advertising : A Simple Expositions of the Principles of Psychology In Their Relation to Successful Advertising. Boston : Small, Maynard and Company.
Stout, J. (2014). Overdosed on Happiness: Give Me One More Shot and I'll Buy Your Product. The Influence of Positive and Negative Emotions in Advertising [master thesis]. Enschede (NL): University of Twente
Stratton, A.K. (2012). The Role of Emotion in Rational Decision-Making [master thesis]. Adelaide (AUS): Adelaide University
Link untuk mengunduh paper studi Facebook : http://www.pnas.org/content/111/24/8788.full

Assassins Creed : Kekeliruan Kredo Assassin

Baru aja beberapa bulan lalu namatin Assassins Creed Origins, eh Assassins Creed Oddysey udah keluar aje.Emang begitu nasib maen bajak...